Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, Indonesia menghormati kerja sama antara Freeport dan Indonesia. Namun sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan, bahwa masa kontrak Freeport di Indonesia selama 50 tahun telah habis. Selanjutnya, Indonesia ingin mengolah tambang emas terbesar itu secara swakelola.
Namun ada perjanjian baru di mana Indonesia harus mendapat keuntungan sebesar 51 persen serta Freeport diwajibkan membangun smelter untuk mengolah hasil tambang tersebut, sehingga ekspor tidak lagi dalam bentuk raw material tapi dalam bentuk value added.
“Tapi pembangunan smelter ini tidak dilakukan. Kita sebagai bangsa yang besar harus tegas,” kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (28/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Tak hanya di Freeport, Luhut menambahkan, hal yang sama juga pernah dialami di Blok minyak dan gas bumi (Migas), Mahakam yang dikelola oleh Total. Pasalnya, ketika masa perjanjian habis, Total masih ingin memperpanjang, namun Total ingin menerima 39 persen. Namun tidak ingin membayar, serta menentukan harga dengan sendirinya. Padahal, kata Menko Luhut, penentuan harga seharusnya dilakukan dengan adil, di mana harga ditentukan oleh pasar (Jakarta Stock Exchange).
“Oleh karena itu, kita harus tegas, memiliki pengetahuan yang luas supaya tidak ditipu, dan tegas dalam membela kepentingan Indonesia,” tegasnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan PT Freeport Indonesia mendivestasi (melepas) 51 persen saham merupakan keharusan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot, mengatakan, pelepasan saham 51 persen merupakan kewajiban untuk Freeport. Hal tersebut menjadi syarat jika ingin masa operasinya diperpanjang, setelah kontraknya habis pada 2021.
"Kita tidak perlu setuju dan tidak setuju. Yang jelas, persyaratan untuk operasional Freeport 51 persen harus," kata Bambang.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: