Pajak Daerah Masih Hambat Investasi

Ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dikeluarkan membuat daerah berlomba-lomba tambah jenis dan jumlah pungutan pajak.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 11 Okt 2017, 12:31 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2017, 12:31 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) melihat sektor perpajakan daerah selama ini masih kurang perhatian oleh pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Pajak.

Kurangnya perhatian ini menjadikan berbagai daerah berlomba-lomba menambah jenis dan jumlah pungutan pajak demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menjelaskan, gejala ini mulai timbul ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dikeluarkan.

"Sebagai dampaknya, otonomi daerah justru berdampak negatif bagi daerah itu sendiri dengan berkurangnya kepastian hukum, peningkatan beban pada masyarakat, serta terhambatnya investasi di daerah," kata Yustinus dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Rabu (11/10/2017)

Yustinus menambahkan, dari aspek legal, ketidakpahaman pejabat daerah dan petugas pajak daerah terhadap konsep pemungutan pajak daerah dan minimnya pengawasan terhadap pemungutan pajak daerah seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, misalnya Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang tidak seharusnya diterbitkan.

Hal ini, ia menuturkan diperparah dengan peran Pengadilan Pajak sebagai muara para pencarian keadilan. Pengadilan Pajak sebagai tempat para wajib pajak mengharapkan putusan yang adil, objektif, profesional, dan menjadi sarana korektif terhadap praktik pemungutan pajak yang menyimpang - belum dapat sepenuhnya diharapkan.

Ia mencontohkan dalam beberapa kasus, misalnya kasus PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Pemerintah menerbitkan beberapa Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor (SKPD PKB) berdasarkar UU PDRD No. 28 Tahun 2009 (prevailing).

Padahal, berdasarkan Kontrak Karya, PT NNT seharusnya tidak wajib membayar pajak daerah. Kasus lain juga dialami PT Freeport Indonesia (PT Fl), yaitu diterbitkannya SKPD PAP berdasarkan UU PDRD No. 28 tahun 2009 (prevailing).

"Maka dari itu, peletakan aasar-dasar reformasi perpajakan sudah selayaknya tidak hanya fokus pada pemerintahan pusat, namun juga pada pemeritahan daerah, sehingga menjamin kesinambungan fiskal dan investasi di daerah," ujar dia.

Ia menambahkan, saat ini Indonesia tengah membutuhkan banyak investasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang ujungnya demi mensejahterakan rakyat.

"Dengan demikian, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong investasi, antara lain kepastian hukum, stabilitas politik, debirokratisasi, dan kepastian dan kesinambungan kebijakan fiskal," ujar dia. (Yas)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

RI Harus Tarik Investasi Rp 799 Triliun

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Untuk menggapai target tersebut membutuhkan kerja keras, di antaranya menarik investasi sebesar Rp 799 triliun dan penyaluran kredit harus mencapai Rp 483 triliun.

"Target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen di 2018 bisa dipandang optimistis. Tapi memang target ini butuh extra effort, banyak yang harus dilakukan pemerintah dan pihak swasta, serta lainnya supaya situasi makin kondusif," jelas dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin 11 September 2017.

Kunci mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada tahun depan, diakui Sri Mulyani, pertumbuhan konsumsi rumah tangga harus di atas 5 persen, yakni targetnya 5,1 persen. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi diharapkan tumbuh 6,3 persen.

"Dibanding outlook sampai akhir tahun ini 5,17 persen, target 5,4 persen di 2018 kenaikannya memang signifikan. Tantangannya menggerakkan investasi yang berasal dari pemerintah, BUMN, pasar modal, perbankan, penanaman modal dari dalam maupun luar negeri, serta korporasi," dia menjelaskan.

Selain konsumsi dan PMTB, Sri Mulyani menuturkan ada beberapa syarat utama untuk bisa mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Pertama, pertumbuhan kredit. Penyaluran kredit di tahun depan perlu mencapai Rp 483 triliun atau naik dibanding tahun ini yang diperkirakan Rp 370 triliun demi mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen.

Kedua, investasi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menteri Keuangan akan tetap berkoordinasi dengan Menteri BUMN, Rini Soemarno agar perusahaan pelat merah mampu mengoptimalkan neraca keuangannya untuk ekspansi guna mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

"Ketiga di pasar modal, list dari perusahaan yang akan listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan yang melakukan rights issue diharapkan dapat mendorong investasi di pasar modal dengan kontribusi mencapai Rp 855 triliun di 2018," harap Sri Mulyani.

Terakhir dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), lanjutnya, diharapkan mampu berkontribusi terhadap belanja modal sebesar Rp 799 triliun. Kinerja pertumbuhan PMA dan PMDN di 2015-2017 mencapai share 14,5 persen atau tumbuh kuat dengan upaya pemerintah menjaga iklim investasi.

"Jadi 5,4 persen di 2018 masih bisa dicapai, tapi perlu kerja keras. Pertumbuhan kredit harus mencapai 13-15 persen, pasar modal dengan perusahaan yang Innitial Public Offering (IPO) tumbuh 10-15 persen, capex BUMN Rp 523 triliun, serta PMA dan PMDN yang harus tumbuh sekurang-kurangnya 17-19 persen. Itu prasyarat untuk mencapai 5,4 persen di 2018," pungkas Sri Mulyani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya