BPS: Jokowi Tak Pernah Intervensi Data BPS

Presiden Jokowi tidak pernah melakukan intervensi atas data-data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Des 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 09 Des 2017, 11:30 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Bogor - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah mengintervensi data-data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Kualitas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS sudah diakui Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/IMF).

"Presiden tidak pernah intervensi data BPS sekecil apa pun," kata Sekretaris Utama BPS, Adi Lumaksono, saat Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media di Hotel Lorin, Bogor, Sabtu (9/12/2017).

Adi mencontohkan, Kepala BPS sering diminta memaparkan realisasi angka pertumbuhan sektoral, baik yang mengalami perlambatan maupun yang tumbuh cepat di Sidang Kabinet. Namun, atas hasil perhitungan BPS, Presiden Jokowi diakui tidak pernah menegur Kepala BPS.

"Kalau ada pertumbuhan sektoral yang melambat, Presiden tidak menegur Kepala BPS. Tapi menegur menteri-menteri yang membawahi sektor tersebut," ujar mantan Deputi Bidang Statistik Produksi BPS itu.

Sebelum merilis suatu data, misalnya pertumbuhan ekonomi nasional, Adi menjelaskan, pejabat BPS yang berwenang, termasuk pegawai bekerja sesuai tahapan.

"Kalau menentukan 5,02 atau 5,03 persen, beda 0,1 persen saja proses perdebatan luar biasa dengan subject matter. Kepala BPS jika mau mengumumkan data bahkan sampai tidak tidur karena perlu merangkum dinamika di lapangan. Sebelum pengumuman jam 11.00 WIB, dua jam sebelumnya harus me-review paparan," jelas dia.

Adi mengatakan, data inflasi dan ekspor impor yang dilaporkan BPS setiap bulan dan pertumbuhan ekonomi kuartalan merupakan yang tercepat di dunia. Kualitas data resmi pertumbuhan ekonomi yang diolah BPS pun mendapat pengakuan akurat dari IMF.

"Kita merilis data jadi yang tercepat di dunia dan telah mendapatkan dari IMF. Setiap enam bulan dicek, dan data pertumbuhan ekonomi kita telah mendapatkan sertifikat dari IMF, bahwa data kita akurat," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Gelar Sensus Penduduk 2020, BPS Bakal Pakai Data E-KTP

Sebelumnya, BPS akan menggelar Sensus Penduduk (SP) pada 2020. Survei besar ini akan menjangkau 270 juta penduduk di seluruh wilayah Indonesia dan pertama kalinya akan menggunakan data administrasi kependudukan atau E-KTP yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, ‎dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 1997, BPS wajib menyelenggarakan Sensus Penduduk setiap 10 tahun sekali dan dilaksanakan pada tahun berakhiran nol. Sensus Penduduk 2020 merupakan SP ke-7 sejak pertama kali digelar pada 1961.

"SP memotret terkini dan masalah yang dihadapi bangsa ini. Data paling utama dari SP, antara lain vertilitas, mortalitas, dan migrasi yang berguna untuk mengambil kebijakan dalam upaya pengendalian jumlah penduduk, penyediaan sarana pemukiman, sanitasi, dan pendidikan," kata dia di Seminar Internasional di kantor pusat BPS, Jakarta, Selasa 14 November 2017.

Kecuk mengatakan, dalam Sensus Penduduk pada 2020, BPS akan pertama kalinya menggunakan data administrasi kependudukan dari Kemendagri, selain memakai metode tradisional. Hal ini sesuai rekomendasi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).

"Kami akan sesuaikan cakupan sebagaimana rekomendasi PBB supaya BPS tidak hanya menggunakan metode tradisional dalam SP, tapi juga data administrasi penduduk Kemendagri. Jadi perpaduan registrasi penduduk dan pendataan sensus, ini pertama kalinya," ‎tutur Kecuk.

Penggunaan data administrasi kependudukan dalam SP 2020, diakuinya bukan tanpa alasan. Pasalnya selama ini masih ada masalah yang dihadapi Indonesia mengenai data kependudukan. Data penduduk Indonesia, sambung Kecuk berasal dari BPS, yakni hasil SP serta data e-KTP dari Kemendagri.

"Perbedaan konsep dan definisi penduduk yang digunakan dua instansi menjadi penyebab kenapa masih ada perbedaan data. Perbedaan ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan pengguna data. Jadi kami harus segera mengakhiri perbedaan ini dan bisa membuat data tunggal yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan," ujar dia.

Dengan memanfaatkan data tersebut, Kecuk berharap, pemerintah bisa memperoleh data kependudukan tunggal yang dapat diakses seluruh pihak. Kerja sama dengan Kemendagri dan seluruh pemangku kepentingan diharapkan mampu memutus rantai masalah yang muncul saat ini.

Dia menuturkan, BPS melakukan survei atas 43 variabel dalam SP 2010, di antaranya nama, NIK, umur, pendidikan, status, pekerjaan, migrasi, suku, bahasa, dan lainnya. Untuk SP 2020, belum membahas secara detail, namun data SP 2020 mempunyai peran penting dalam upaya pemerintah mencapai target SDG's (Sustainable Development Goals).

"Dengan data SP yang berkualitas, pemerintah dapat bergerak merencanakan program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan SDG's yang sudah disepakati dunia internasional," jelas Kecuk.

Terkait dengan anggaran SP 2020, dia mengaku belum menghitungnya. Termasuk dengan kapan pelaksanaan sensus, apakah di Mei atau Juni sampai kepada jumlah pencacah dan petugas BPS yang akan diterjunkan. Akan tetapi berkaca pada penyelenggaraan Sensus Ekonomi, kebutuhan anggaran mendekati Rp 3 triliun.

"‎Kami belum menghitung anggaran SP 2020, karena ini masih tahap awal persiapan. Kami baru akan mengajukannya tahun depan. Tapi kalau SE terakhir ini, hampir Rp 3 triliun dan itu sebagian besar untuk pencacah di seluruh Indonesia, melatih mereka memahami kuesioner, dan lainnya," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya