Pengelolaan Lahan Gambut Butuh Aturan Inovatif

Insentif akan memberi efek berkelanjutan seperti tambahan dari penerimaan pajak ke depan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 14 Des 2017, 13:24 WIB
Diterbitkan 14 Des 2017, 13:24 WIB
Sekat kanal gambut Jambi
Sekat kanal lahan gambut yang ada di Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. (Liputan6.com/B Santoso)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mesti membuat aturan yang inovatif terkait pengelolaan lahan gambut. Salah satunya, dengan memberikan insentif pada swasta yang berhasil melindungi lahan gambut.

"Insentif itu mereka yang mengelola gambut bagus, dengan teknologi ramah lingkungan yang sustainable itu yang dikasih insentif," kata Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Riyanto di acara Media Gathering PT Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) Yogyakarta, Kamis (14/12/2017).

Dia mecontohkan, insentif tersebut seperti adanya kelonggaran pajak. Dengan hal tersebut, dia berharap akan merangsang industri untuk melakukan kegiatan usaha.

Insentif akan memberi efek berkelanjutan seperti tambahan dari penerimaan pajak ke depan.

"Mungkin bebas pajak, kan lumayan perusahaan terangsang, karena dia investasi teknologi ramah lingkungan pasti pakai biaya kan. Jadi kalau ‎pakai teknologi itu keluar pajaknya kan, ada PPh, bisa juga kalau di perusahaan ada PPN, macam-macam itu insentifnya bisa dikaji lagi berapa persen," jelas dia.

Menurutnya, hal itu juga merupakan inovasi kelembagaan. Lantaran, selain mengoptimalkan lahan gambut namun juga mendorong produktivitas.

"Kalau itu diterapkan itu namanya inovasi kelembagaan gambut, jadi gambutnya, hutan tanaman industri (HTI) akan mengelola lahan gambut ‎dengan cara yang lebih baik apa lagi kalau tidak terbakar itu yang harus dikasih insentif menurut saya," ujar dia.

"Jangan kaya ‎sekarang pinalti rezimnya, rezim pokoknya kasih pinalti kalau salah," sambungnya.

Namun, dia juga menuturkan, jika perusahaan tak mampu mengelola lingkungan dengan baik bisa dikenai sanksi tegas. Sanksi tegas tersebut seperti pencabutan izin.

"Kalau dia nggak kelola baik, masih terbakar, cabut saja izinnya itu bisa. Saya kira nggak main-main perusahaan akan usahanya tidak terbakar," tutup dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kemajuan Restorasi Lahan Gambut

Lahan Gambut
Guru SD di Bengkalis Riau menolak kembali menanam sawit di lahan gambutnya (Liputan6.com / M.Syukur)

Sebelumnya, Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) menyampaikan kemajuan pelaksanaan restorasi gambut dalam Climate Change Conference (COP 23) yang digelar di Bonn, Jerman.

Konferensi yang diadakan pada 6 hingga 17 November 2017 tersebut, diadakan oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

"BRG akan merestorasi sekitar 2,5 juta hektar ekosistem gambut yang terdegradasi, di antaranya yang terbakar pada tahun 2015 seluas 875 ribu hektar," ujar Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG, Budi Satyawan Wardhana, dalam diskusi panel.

Dalam keterangan media yang diperoleh Liputan6.com dari BRG pada Selasa (7/11/2017), Pemerintah Indonesia menjalankan komitmen nasional untuk menurunkan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29 persen sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Dalam konteks tersebut, restorasi ekosistem gambut memberikan kontribusi penting.

Pada keterangan itu juga disebutkan, moratorium penerbitan izin untuk lahan gambut di Indonesia telah diperbaharui melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 soal penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut.

Instruksi tersebut adalah perpanjangan ketiga sejak pertama kali dicanangkan tahun 2011.

"Pemantauan moratorium ini menjadi penting, karena wilayah yang dimoratorium sangat luas. Saat ini 1,4 juta hektar lahan gambut ada dalam pengelolaan izin konsesi perkebunan khususnya kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk pulp dan kertas," ujar Budi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya