Pertumbuhan Ekonomi Global Membaik pada 2018

Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan membaik pada 2018. Hal itu juga diikuti dengan kenaikan inflasi.

oleh Teddy Oetomo diperbarui 06 Jan 2018, 08:35 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2018, 08:35 WIB
6 Negara dengan Ekonomi Paling Kompetitif di Dunia
amerika serikat (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan membaik pada 2018. Hal itu didukung dengan membaiknya perdagangan global dan kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS).

Mengutip data Schroders, Sabtu, (6/1/2018), pertumbuhan global direvisi naik menjadi 3,3 persen pada 2018. Kemudian melemah ke 3 persen pada 2019. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan 3 persen pada 2017 dan 2018.

Schroders menyatakan, pertumbuhan ekonomi global itu tertinggi sejak 2011. Hal tersebut didukung dari membaiknya perdagangan global, kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS) yang melonggar dan meningkatnya investasi dunia usaha.

Pertumbuhan global tersebut akan disumbangkan dari pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang akan meningkat pada 2018. Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan meningkat menjadi 2,5 persen pada 2018 dari sebelumnya 2 persen. Ini didorong stimulus fikal yang lebih tinggi.

Sementara itu, Inggris diproyeksikan tetap mencatatkan pertumbuhan di kisaran 1,6 persen. Pertumbuhan ekonominya masih sesuai harapan, tetapi ketidakpastian Britain Exit (Brexit) tetap ada pada 2019.

Dari Zona Eropa, pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap kuat. Hal itu didorong lonjakan pertumbuhan dalam perdagangan global dan permintaan domestik yang kuat. Namun, zona Eropa memiliki sejumlah risiko politik.

Negara berkembang diperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,9 persen pada 2018. Hal itu ditunjang dari inflasi yang lebih rendah dan penurunan suku bunga. Di antara negara berkembang, Brasil adalah negara yang ekonominya diperkirakan tumbuh, meski ada ketidakpastian politik Oktober 2018. Hal itu mengingat ada pemilihan presiden.

Negara lainnya seperti Rusia, pertumbuhan ekonominya juga masih positif. Ini ditopang harga minyak lebih tinggi dan penurunan tarif pajak. Adapun India, pertumbuhannya lebih lemah. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dukung sektor perbankan publik. Namun, sektor swasta juga perlu ditingkatkan perannya sehingga pemulihan dapat berlanjut.

Dari Tiongkok, Schroders menilai pemerintah kurang serius melakukan reformasi. Namun, diharapkan pertumbuhan ekonomi membaik dengan harapan bank sentral menurunkan giro wajib minimum (GWM) dan memberikan bantuan insentif untuk petani dan perusahaan start up. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok sekitar 6,3 persen pada 2018.

Selain ekonomi global, Schroders juga memproyeksikan inflasi mencapai 2,3 persen pada 2018. Ini mencerminkan kekuatan aktivitas usaha, harga komoditas lebih tinggi dan meningkatnya tekanan biaya. Inflasi diperkirakan meningkat menjadi 2,5 persen pada 2019.

Untuk perkiraan suku bunga negara maju, Amerika Serikat (AS) diperkirakan suku bunganya naik menjadi 2,25 persen pada 2018 dan 2,5 persen pada 2019. Suku bunga di Zona Eropa diperkirakan naik menjadi 0,5 persen pada 2019.

Kemudian, Bank of England juga diperkirakan menaikkan suku bunga menjadi 1 persen pada 2019. Adapun Jepang kemungkinan meningkatkan target imbal hasil obligasi Pemerintah Jepang bertenor 10 tahun dengan mengurangi pembelian.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Sri Mulyani Beberkan Tantangan Ekonomi Global pada 2018

20170110-Sri-Mulyani-AY1
Sri Mulyani saat memberi arahan dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (10/1). Menurut Sri Mulyani, naiknya pertumbuhan China memberikan dampak positif terhadap perekonomian dunia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, meski ekonomi global disebut akan lebih di tahun depan, ada sejumlah hal yang harus menjadi perhatian.

"Perekonomian global, walaupun selama ini sudah disampaikan outlook 2018 akan lebih baik, namun masih terbayang beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Juga perubahan-perubahan yang cukup fundamental," ujar dia di Jakarta, Senin 18 Desember 2017.

Hal pertama yang harus diwaspadai, lanjut Sri Mulyani, yaitu pemulihan ekonomi yang masih dibayangi oleh ketidakpastian. Kedua, restrukturisasi ekonomi di China yang berpotensi memengaruhi perekonomian global.

"Pertama, pemulihan ekonomi itu sendiri yang selama ini masih dibayangi ketidakpastian. Kedua, restrukturisasi perekonomian di China yang sekarang terus menghadapi trade off antara stabilitas dan kontinuitas atau sustainability dengan kemampuan mereka adjust di dalam komposisi pertumbuhan ekonomi. Balancing yang dilakukan Tiongkok akan memengaruhi seluruh dunia," jelas dia.

Ketiga, kebijakan ekonomi di Amerika Serikat (AS), terkait dengan pengumuman pengganti Janet Yellen dan arah kebijakan Federal Reserve ke depan.

"Meski selama ini komunikasi sudah cukup baik, dengan kepemimpinan yang baru tentu akan membawa juga beberapa perubahan pada cara komunikasi dan arahnya sendiri," kata dia.

Selain itu, ucap Sri Mulyani, saat ini Amerika Serikat (AS) juga akan mengeluarkan kebijakan pajak baru. Hal ini dinilai cukup signifikan mengubah tarif pajak maupun insentif bagi pengusaha di Negeri Paman Sam.

"Secara internasional, perlu melihat arah kebijakan perpajakan di AS. Di Eropa, walaupun sudah menunjukkan tanda pemulihan, secara politik jauh dari stabil. Kalau lihat di Jerman yang diasumsikan sebagai daerah paling stabil, belum mampu membentuk pemerintahan baru setelah pemilu. Proses Brexit yang sudah terjadi. Amerika, Eropa, dan China yang harus diperhatikan," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya