DJP: PMK 15 Berikan Kepastian Hukum Penghitungan Pajak

PMK berisi delapan hal yang bisa dilakukan petugas pemungut pajak atau fiskus untuk menetapkan besaran pajak yang harus dibayarkan Wajib Pajak (WP)

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 05 Mar 2018, 21:27 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2018, 21:27 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jendral Pajak (DJP) memberikan penjelasan mengenai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2018 tentang cara lain menghitung peredaran bruto.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan PMK ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan panduan yang jelas bagi WP dan DJP dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan.

PMK ini berisi delapan hal yang bisa dilakukan petugas pemungut pajak atau fiskus untuk menetapkan besaran pajak yang harus dibayarkan Wajib Pajak (WP).

"Karena banyak Wajib Pajak yang protes kepada pihaknya tentang metode penghitungan pajak. Metode lama, pemeriksaan pembukuan oleh fiskus menggunakan pemeriksaan berdasarkan surat edaran dari Dirjen Pajak. Jadi sering menimbulkan sengketa," kata Robert di kantornya, Senin (5/3/2018).

Robert menambahkan, dengan adanya PMK ini wajib pajak diwajibkan untuk menyetorkan catatan keuangan usahanya kepada Ditjen Pajak.

Bagi perusahaan yang memiliki omset Rp 4,8 miliar diminta untuk melakukan pembukuan, sementara bagi yang omsetnya dibawah Rp 4,8 miliar hanya cukup melakukan pencatatan.

Demi mempermudah pemeriksaan tanpa pembukuan WP, dijelaskannya, dalam PMK ini juga memperbolehkan fiskus untuk mengirimkan cara lain menghitung kewajiban pajak WP selain omset usaha yang dimiliki.

"Fiskus diberikan kewenangan untuk menentukan penghasilan atau omset peredaran bruto bagi WP yang tidak melaporkan pembukuan peredaran bruto yang dimiliknya," tambahnya. 

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekening Warisan Orang Meninggal Dipajaki, Ini Penjelasannya

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018. Dalam beleid ini mengatur kewajiban lembaga jasa keuangan untuk melaporkan rekening keuangan atas warisan yang belum terbagi dari orang yang sudah meninggal.

Benarkah aturan ini meresahkan dan menunjukkan bahwa pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kehabisan akal, sehingga memajaki isi rekening orang yang sudah meninggal?

Pengamat Pajak sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengungkapkan, dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur tentang siapa subyek pajak, antara lain warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

"Kenapa warisan yang belum terbagi harus menjadi subjek pajak? Warisan ini pada dasarnya akan menjadi milik ahli waris, namun ketika belum dibagi, maka dia belum menjadi milik ahli waris," kata Yustinus dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (5/3/2018).

Lebih jauh dia menjelaskan, warisan yang belum terbagi ini menjadi subjek pajak. Kewajiban baru timbul ketika warisan tersebut mendatangkan penghasilan yang merupakan objek pajak.

Secara administratif warisan ini akan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) si pewaris atau orang yang meninggal, hingga warisan dibagi nanti akan berpindah menjadi milik ahli waris masing-masing.

"Pelaksanaan kewajiban tentunya dijalankan ahli waris karena tak mungkin pewaris yang sudah di dunia lain diwajibkan membayar dan melapor pajak," Yustinus menerangkan.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya