BI: Defisit Perdagangan USD 1,6 Miliar Imbas Peningkatan Kegiatan Ekonomi

Bank Indonesia memandang defisit neraca perdagangan April 2018 tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Mei 2018, 21:45 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2018, 21:45 WIB
Bank Indonesia
Bank Indonesia (ROMEO GACAD / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia alami defisit USD 1,63 miliar pada April 2018 seiring peningkatan aktivitas ekonomi domestik.

Defisit itu dipengaruhi defisit pada neraca perdagangan nonmigas dan defisit pada neraca perdagangan migas. Secara kumulatif Januari-April 2018, neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit USD 1,31 miliar.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Agusman menuturkan, defisit neraca perdagangan April 2018 tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi. Ini sejalan dengan membaiknya prospek ekonomi domestik.

"Ke depan, Bank Indonesia meyakini kinerja neraca perdagangan akan membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi,"ujar Agusman.

Ia mengatakan, perkiraan ini akan mendukung prospek pertumbuhan ekonomi dan ketahanan neraca transaksi berjalan. Neraca perdagangan nonmigas pada April 2018 mencatat defisit USD 0,50 miliar dipengaruhi kenaikan impor nonmigas di tengah perlambatan ekspor nonmigas. Impor nonmigas tercatat USD 13,77 miliar, meningkat  USD1,55 miliar dibandingkan dengan impor Maret 2018.

Hal itu terutama didorong kenaikan impor barang modal dan bahan baku termasuk mesin dan peralatan listrik, besi dan baja, serealia, ampas, sisa industri makanan, serta kapal terbang dan bagiannya.

Peningkatan impor tersebut tidak terlepas dari kegiatan produksi dan investasi yang terus meningkat sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik. Sementara itu, ekspor nonmigas tercatat USD 13,28 miliar, turun USD 0,97 miliar dari capaian Maret 2018.

Hal itu terutama karena turunnya ekspor bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani/nabati, perhiasan/permata, bijih, kerak, dan abu logam, serta besi dan baja.

Secara kumulatif Januari-April 2018, neraca perdagangan nonmigas masih mencatat surplus yakni USD 2,50 miliar.

Neraca perdagangan migas mencatat peningkatan defisit dipengaruhi menurunnya ekspor migas, di tengah meningkatnya impor migas. Defisit neraca perdagangan migas April 2018 tercatat USD 1,13 miliar, naik dari USD 0,90 miliar pada Maret 2017.

Perkembangan ini dipengaruhi oleh ekspor migas yang turun USD 0,15 miliar (mtm), terutama ekspor minyak mentah. Sementara itu, impor migas naik sebesar USD 0,08 miliar  (mtm), terutama bersumber dari impor hasil minyak dan gas. Secara kumulatif, neraca perdagangan migas mengalami defisit USD 3,81 miliar, lebih tinggi dari defisit pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai USD 3,19 miliar.

 

Kata Menko Darmin soal Defisit USD 1,6 miliar pada April

Wow, Kapal Besar Ini Bawa Ekspor Manufaktur Indonesia ke AS
Pelepasan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) menggunakan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). Produk yang diekspor adalah barang manufaktur. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, BPS melaporkan Indonesia alami defisit perdagangan USD 1,63 miliar. Pemerintah menilai hal itu lantaran kenaikan impor karena ada pembangunan infrastruktur besar yang sedang dikerjakan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyampaikan hal tersebut saat ditemui wartawan di kantornya, Selasa 15 Mei 2018.

Pembangunan infrastruktur besar tersebut mendorong beberapa barang kebutuhan bahan baku untuk infrastruktur terpaksa harus diimpor.

"Pertumbuhannya lebih tinggi itu ditambah dengan proyek-proyek infrastruktur. Artinya, kalau proyek infrastruktur dan kemudian proyek investasi swasta lain yang non infrastruktur yang memang pertumbuhannya meningkat, itu pasti butuh barang modal dan barang baku,” ujar Darmin.

"Jadi, kalau kamu lihat pertumbuhan barang bahan bakunya sama tingginya dengan barang konsumsi," tambah Darmin.

Darmin mengatakan, tingginya permintaan bahan baku infrastruktur lantaran proyek yang sudah jalan beberapa tahun lalu sedang proses penyelesaian. Jadi bahan baku yang diperlukan pun cukup banyak.

"Jangan lupa, barang modal dan barang baku, dalam impor kita itu 91 persen. Barang konsumsi cuma 9 persen," ujar Darmin.

Meski demikian, Darmin menuturkan, kenaikan impor yang mencapai 11,28 persen tersebut masih terbilang aman. Sebab menurut dia kenaikan tersebut secara pertumbuhan ekonomi masih dapat berjalan positif.

"Itu memang luar biasa kenaikannya. Tinggi sekali, tetapi dari segi perkembangan ekonomi artinya positif. Kenapa positif? Karena investasi berjalan, baik invetasi swasta, maupun investasi dalam bentuk bangunan infra, dan lain sebagiannya," kata dia.

Lebih lanjut, Darmin Nasution mengatakan secara ekspor memang terlihat menurun. Untuk itu dia meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan kembali nilai ekspor Indonesia, sehingga dapat mengimbangi nilai impornya.

"Jadi memang yang sekarang ini berarti. Selain, mempercepat realisasi investasi dan pembangunan infrastruktur itu, yang dampaknya positif ya pemerintah harus mendorong ekspor, mengimbangi kenaikan impor itu, kalau tidak itu akan dampaknya bisa tidak terlalu baik terhadap neraca pembayaran," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya