Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia jatuh, dengan minyak mentah AS turun hampir 3 persen, di tengah kekhawatiran bahwa Arab Saudi dan Rusia dapat kembali memompa pasokan minyaknya untuk mengkompensasi kekurangan pasokan global.
Melansir laman Reuters, Rabu (30/5/2018), harga minyak mentah berjangka Brent turun 68 sen atau 0,9 persen menjadi US$ 74,62 barel. Sementara harga minyak West Intermediate (WTI) turun US$ 1,83, atau 2,7 persen, menjadi US$ 66,05 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Arab Saudi dan Rusia telah membahas peningkatan produksi minyak dari anggota OPEC dan non-OPEC sebesar 1 juta barel per hari (bpd) untuk mengatasi potensi kekurangan pasokan dari Venezuela dan Iran.
Menjelang pertemuan OPEC di Wina pada 22 Juni, kekhawatiran bahwa Arab Saudi dan Rusia dapat meningkatkan produksi telah menekan harga minyak, bersama dengan meningkatnya produksi di Amerika Serikat.
"Pelaku pasar tetap tidak yakin seberapa cepat strategi keluar dapat diimplementasikan dan apakah itu akan melampaui penurunan output dari Venezuela," kata Abhishek Kumar, Analis Energi Senior Interfax Energy Global Gas Analytics di London.
"Mereka khawatir keputusan kartel dapat mengambil pendekatan menunggu dan menonton terhadap Iran. Akibatnya, sentimen bearish kurang menarik untuk harga Brent," jelas dia.
Harga minyak Brent telah jatuh hampir 7 persen sejak mencapai posisi US$ 80,50 pada 17 Mei, tertinggi sejak 2014.
"Ketidakpastian yang tinggi mengaburkan pandangan jangka pendek dan mempertahankan pandangan netral. Dalam jangka menengah sampai jangka panjang, kita masih melihat harga minyak jatuh seperti yang ditunjukkan oleh kurva penurunan ke bawah. Pandangan 'rendah untuk lebih lama' kita ditangguhkan, tidak terbantahkan," ujar Julius Baer's Norbert Ruecker dalam sebuah catatan.
Adapun produksi minyak AS telah melonjak lebih dari 20 persen dalam dua tahun terakhir menjadi 10,73 juta bpd.
Itu menempatkan Amerika Serikat di depan Arab Saudi dan dalam jangkauan Rusia, yang memompa sekitar 11 juta bpd.
Harga Minyak Sebelumnya
Harga minyak kembali melemah pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta). Pendorong penurunan harga minyak adalah komentar dari Arab Saudi dan juga Rusia bahwa mereka bisa meningkatkan pasokan sementara kenaikan produksi di Amerika Serikat (AS) tidak mengalami perlambatan.
Mengutip Reuters, Selasa (29/5/2018), harga minyak mentah Brent berjangka berada di level USD 75,32 per barel, turun USD 1,12 dari penutupan perdagangan sebelumnya. Harga kontrak minyak ini sempat menyentuh level USD 74,48 per barel yang merupakan level terendah dalam 3 pekan.
Sedangkan untuk harga kontrak minyak AS berada di level USD 66,47 per barel, turun USD 1,41 dari perdagangan sebelumnya. Harga minyak jenis ini sempat menyentuh level USD 65,80 per barel yang merupakan level terendah dalam enam bulan.
Baca Juga
Jarak harga angka kedua patokan tersebut mencapai USD 9,38 per barel, yang merupakan selisih terbesar atau terluas sejak Maret 2015.
Harga minyak tak begitu ramai karena pasar di Amerika Serikat dan Inggris tutup karena libur nasional.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan beberapa negara produsen minyak lain non-OPEC seperti Rusia mulai menahan lagi produksi minyak di kisaran 1,8 juta barel per hari sejak 2017 lalu.
Langkah tersebut dilakukan untuk memperketat pasar dan menaikkan harga yang sebelumnya sempat anjlok hingga ke level USD 30 per barel yang merupakan titik terendah dalam satu dekade terakhir.
Sejak pemangkasan produksi oleh OPEC dan beberapa negara lain sejak awal 2017 tersebut, harga minyak sedikit demi sedikit mulai menanjak sehingga harga minyak Brent sempat menyentuh level USD 80 per barel pada bulan ini.
Kenaikan harga minyak ini kemudian justru menimbulkan kekhawatiran lain. Dampak dari melambungnya harga minyak ditakutkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dari negara-negara konsumen minyak dan juga bisa memicu inflasi.
"Laju kenaikan harga minyak baru-baru ini memicu perdebatan di kalangan investor mengenai apakah bisa menimbulkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi global," kata kepala ekonom Morgan Stanley Chetan Ahya.
Advertisement