Sentimen Positif Dalam Negeri Belum Mampu Angkat Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.380 per dolar AS hingga 14.445 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 12 Jul 2018, 11:09 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2018, 11:09 WIB
Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas memperlihatkan uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali bergerak melemah pada perdagangan hari ini. Beberapa sentimen positif dari dalam negeri belum direspons positif oleh pelaku pasar. 

Mengutip Bloomberg, Kamis (12/7/2018), rupiah di buka di angka 14.415 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.385 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.380 per dolar AS hingga 14.445 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,29 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatokn di angka 14.435 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.391 per dolar AS.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan sejumlah sentimen positif dari dalam negeri yang belum terespons dengan baik dapat membuka peluang pelemahan lanjutan rupiah.

"Tidak berbeda dengan sebelumnya dimana masih rentannya rupiah menghalangi potensi kenaikan lanjutan sehingga perlu dicermati berbagai sentimen, terutama pergerakan sejumlah mata uang global terhadap dolar AS," ujar Reza.

Imbas apresiasi nilai tukar dolar AS belum meninggalkan rupiah, membuatnya cenderung melemah.

Sentimen dari dalam negeri dari persetujuan DPR terhadap sejumlah asumsi dasar makro RAPBN 2019 tampaknya belum menjadi sentimen yang dapat mengimbangi penguatan dolar AS. Akibatnya rupiah masih terdepresiasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bos OJK Sebut Rupiah Memasuki Era Baru

Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan nilai mata uang negara berkembang dibandingkan dolar Amerika Serikat (AS) tengah menunjukkan tren depresiasi, salah satunya rupiah. Ini tidak terlepas dari terus membaiknya ekonomi AS.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, dengan berbagai hal yang terjadi di dunia, khususnya di AS, menjadikan rupiah telah memasuki di titik keseimbangan yang baru (new normal). Saat ini rupiah bertengger di atas level 14.000 per dolar AS. 

"Untuk merespons kejadian ini, selain managing volatility, tapi ada yang lebih fundamental yaitu bagaimana memberikan ruang kepada sektor rill agar dampak dari new normality tidak terlalu berat bagi sektor rill," kata Wimboh, Rabu (11/7/2018).

Sebagai senjata pertama untuk stabilitas rupiah, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya langsung 50 basis poin menjadi 5,25 persen pada Juni kemarin.

Memang dengan kenaikan suku bunga acuan ini secara cepat atau lambat akan menjadikan bunga simpanan dan kredit di perbankan juga turut naik. Namun demikian, sebagai salah satu otoritas di industri keuangan, Wimboh meminta kepada perbankan untuk bisa meminimalisir dampaknya agar kenaikan tersebut tidak langsung dirasakan nasabah.

Caranya dengan menciptakan efisiensi bisnis dan manajemen. Salah satunya dengan memaksimalkan teknologi dan integrasi.

"Caranya cobalah menggunakan teknologi supaya cost-nya tidak terlalu besar, lebih efisiensi, supaya tidak semua kenaikan suku bunga ini berakibat pada kenaikan suku bunga kredit," terangnya.

Sebagai kompensasi dari kenaikan suku bunga, lanjut Wimboh, Bank Indonesia dan OJK memberikan ruang gerak di sektor perumahan melalui pelonggaran kebijakan Loan To Value ( LTV) dengan membebaskan uang muka pada pembelian pertama.

Tak hanya membantu orang yang belum memiliki rumah, pertumbuhan sektor perumahan ini  juga sangat penting karena bisa menggerakkan sektor lain seperti membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

"Artinya ini pemerintah akan menerima benefit karena pendapatan pajak juga naik. Rumah itu butuh semen, kan membutuhkan banyak tenaga kerja lebih banyak," tutur dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya