Asosiasi Energi Internasional Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Salurkan Subsidi Energi

Subsidi energi sebenarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 16 Jul 2018, 15:45 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2018, 15:45 WIB
Subsidi Energi.
Ilustrasi subsidi energi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Energi Internasional (International Energy Association/IEA) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam memberikan subsidi energi. Beban subsidi semakin berat dalam kondisi kenaikan harga minyak.

Direktur Eksekutif IEA Advisory Board of World Economic Forum (WEF), Fatih Birol, mengatakan, subsidi energi sebenarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu.

Di sisi lain, subsidi energi akan membuat keuangan negara dan penggunaan energi tidak efisien. Hal ini diperberat dengan kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.

"Subsidi itu inefisien dalam sistem ekonomi dan energi, tapi dalam satu waktu untuk melindungi masyarakat yang paling miskin dalam populasi," kata dia di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Senin (16/7/2018).

Menurut Birol, pemerintah harus berhati-hati dalam menggelontorkan subsidi. Itu karena jika tidak berhati-hati, dampaknya akan membuat pengeluaran keuangan negara tidak efisien dan penggunaan energi semakin boros.

"Buat beberapa negara berpikir dua kali untuk subsidi atau enggak. Di ASEAN, harusnya hati-hati dengan subsidi, karena buka inefisien energy use," tutur Biro.

Birol menyarankan, agar pengeluaran keuangan negara dan penggunaan energi efisien, penyaluran subsidi harus tepat sasaran dengan memberikannya ke pihak yang berhak menerimanya.

"Makanya kebijakan dari target subsidi itu perlu didesain case by case. Pendekatan yang benar, tapi subsidi ini harus sesuai target mengingat harga minyak dunia masih volatile," dia menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Badan Usaha Tak Perlu Restu Pemerintah untuk Menaikkan Harga BBM Non-Subsidi

Harga Pertamax Naik
Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax, Pertamax Turbo dan Pertamina Dex mulai dari Rp500 hingga Rp900 per liter mulai 1 Juli 2018. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kementerian ESDM menerbitkan peraturan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi, berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2018.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi ‎Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, dengan diterbitkannya peraturan tersebut maka badan usaha yang menaikkan harga BBM non-subsidi cukup melaporkan ke instansinya dan tidak perlu mendapat persetujuan.

‎"Sebelum kan dia kasih tahu, Pak kita mau naikkin. Bikin surat supaya enggak nunggu, ya sudah jalan," kata dia di Jakarta, Kamis (5/7/2018).

Menurut Djoko, meski kenaikan harga BBM non-subsidi tidak perlu persetujuan pemerintah, tetapi kenaikan harganya tetap dikontrol. Kenaikan memiliki batas maksimal 10 persen‎. Selanjutnya jika kenaikan harga melebihi batas maksimal maka pemerintah akan meminta menurunkan.

"Tapi kan kita cek juga misalnya sudah, ternyata jalan terus. begitu di atas 10 ya kita turunin," kata dia.

Djoko mengungkapkan, peraturan itu merupakan perubahan dari Peraturan Menteri ESDM No 21 Tahun 2018. Dalam peraturan tersebut, badan usaha yang ingin melakukan kenaikan harga BBM non-subsidi harus melaporkan dan mendapat persetujuan pemerintah.‎

Peraturan itu dibuat untuk mengontrol pergerakan harga BBM non-subsidi. "Kita mau mengawasi. Presiden bilang biarpun BBM non-subsidi enggak ditetapkan tetap harus diawasi tentang distribusi dan kenaikannya. Dari situ kita menangkap ya sudah kita lakukan persetujuan. Keluarlah permen yang itu (21)," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya