Redam Defisit Perdagangan, Pemerintah Perketat Barang Impor

Kementerian Keuangan melihat kebocoran barang impor banyak terjadi di sektor minyak dan gas (migas).

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 24 Jul 2018, 17:42 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2018, 17:42 WIB
Capai USD 15,09 Miliar, Ekspor Oktober Meningkat
Aktivitas bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Sejak tahun 2015, baru dua kali nilai ekspor Indonesia melampaui US$ 15 miliar per bulan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memperketat barang impor, untuk menaikan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan meredam defisit neraca perdagangan Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengakui masih ada kebocoran barang diimpor, meski sudah diproduksi di dalam negeri. Barang impor tersebut kebanyakan digunakan sektor minyak dan gas bumi (migas).

"Kita lihat, kacamata bea cukai kenapa kok barang masih lolos. Kita lihat end to end analisisis-nya. Bea cukai mekanik, boleh atau tidaknya barang masuk itu dari ESDM," kata Mardiasmo, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Padahal pemerintah telah menetapkan kriteria barang yang boleh diimpor, yaitu jika barang itu tidak ada di dalam negeri, jika barang ada tapi tidak mencukupi  dan jika barang  ada tapi tidak sesuai dengan spesifikasi.

"Melalui kacamata Kementerian Keuangan terutama Bea Cukai supaya barang-barang itu bisa diproduksi dalam negeri, ada stoknya, kriterianya ada tiga," ucap Mardiasmo.

Untuk meredam impor barang, Kementerian Keuangan bersama tim dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), memperbaiki daftar barang yang bisa diimpor.

Hal ini akan dilakukan secara berkala setiap tiga bulan, agar mengikuti perkembangan kebutuhan barang. "Makanya ini kita perbaiki, sama dengan tim SKK Migas juga. Kita mau optimalkan dalam negeri," tutur dia.

Mardiasmo mengatakan, pengetatan barang impor bertujuan untuk meredam defisit neraca perdagangan, serta meningkatkan penggunaan barang produksi dalam negeri.

"Kalau barang itu ada dan spesifikasinya masuk kenapa kita harus impor? Bikin defisit. Misalnya pipa, ada barang yang larangan terbatas dibutuhkan itu  yang jadi negatif list itu yang kita sinkronkan. Datanya ada tapi tahunan sementara selama satu tahun itu terjadi perubahan di lapangan," kata dia.

 

RI Punya Tugas Perkuat Struktur Industri

Capai USD 15,09 Miliar, Ekspor Oktober Meningkat
Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Oktober mencapai US$ 15,09 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia sepanjang Juni 2018 mengalami surplus sebesar USD 1,74 miliar. Surplus ini berasal dari nilai ekspor sebesar USD 13 miliar dan impor sebesar USD 11,26 miliar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ke depan pemerintah akan tetap konsentrasi untuk memperkuat ekspor dan mengurangi impor terutama barang modal dan barang perantara. Pemerintah juga akan terus memperkuat pertumbuhan industri Indonesia.

"Kalau kita melihat tren pertumbuhan ekonomi Indonesia kita memiliki tugas untuk makin memperkuat struktur industri kita. Terutama dari ekspor dan terutama mengurangi impor barang modal dan barang perantara," ujar dia di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Selasa 17 Juli 2018.

Sri Mulyani mengatakan, instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan digunakan secara aktif untuk mendorong tumbuhnya industri manufaktur. Hal ini juga untuk mendorong peningkatan ekspor dan kurangi impor. 

"Pemerintah seperti yang saya sampaikan sebelumnya, instrumen APBN ini akan digunakan secara lebih aktif untuk bisa membantu tumbuhnya industri manufaktur di Indonesia yang bisa meningkatkan ekspor dan mengurangi impor," ujar dia.

Adapun instrumen yang digunakan untuk mendorong ekspor antara lain melalui pemberian insentif fiskal berupa pajak, logistik dan bea masuk. "Beberapa industri mungkin membutuhkan support dalam bentuk pajak, logistik, bea masuk atau kebijakan perdagangan. Ini yang akan kami coba koordinasikan," ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya