Genjot Ekspor, Pemerintah Tanggung Subsidi Legalitas Kayu

Pemerintah tengah membahas upaya peningkatan ekspor Indonesia lantaran beberapa kali alami defisit selama lima bulan terakhir 2018.

oleh Merdeka.com diperbarui 13 Jul 2018, 14:30 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2018, 14:30 WIB
Airlangga Hartarto
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menjadi pembicara dalam acara Inspirato di SCTV Tower, Jakarta, Selasa (15/5). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah membahas upaya peningkatan ekspor Indonesia. Hal ini dilakukan karena dalam beberapa bulan terakhir neraca perdagangan Indonesia terus defisit. 

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah bakal menanggung seluruh subsidi Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri kecil menengah (IKM). Hal ini dilakukan untuk mendorong peningkatan ekspor kayu. 

"Insentifnya SVLK-nya subsidi ditanggung pemerintah untuk IKM. Semuanya ditanggung biaya SVLK nya," ujar Airlangga di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (13/7/2018). 

Selain industri kayu, Kementerian Perindustrian juga mengusulkan kemudahan untuk impor sampel bagi industri furniture. Tujuannya, untuk meningkatkan produktivitas dari para IKM perajin furniture. 

"Tadi saya minta untuk impor sampel tidak perlu melalui karantina karena kan sample kadang ada kulitnya ada yang lain sehingga nanti industri itu bisa membuat produksi atau prototype dengan lebih cepat," ujar Airlangga. 

Dalam rapat koordinasi yang digelar bersama Kementerian Koordinator bidang Koordinator dan Kementerian Keuangan, Airlangga juga mengajukan penggunaan serbuk karet atau crumb rubber untuk bahan baku aspal yang dimaksudkan untuk meningkatkan permintaan crumb rubber. 

Pencampuran crumb rubber ini diyakini dapat mengurangi ketergantungan impor Indonesia untuk pembangunan jalan aspal. "Untuk di daerah tertentu seperti Bengkulu akan didorong crumb rubber itu untuk dicampur di aspal dengan demikian demand crumb rubber meningkat," kata dia.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Mei 2018 alami defisit USD 1,51 miliar. Pada bulan tersebut, ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 16,12 miliar, sedangkan impornya mencapai US$ 17,64 miliar.

‎Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan, sebenarnya ekspor pada Mei mengalami pertumbuhan cukup baik, yaitu sebesar 10,9 persen dibandingkan April 2018. Namun nilai impor juga tumbuh cukup besar yaitu 9,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Neraca perdagangan Indonesia sudah empat kali defisit dalam lima bulan. Defisit pada Januari mencapai USD 760 juta, Februari dengan defisit USD 50 juta, April alami defisit USD 1,63 miliar dan Mei defisit USD 1,52 miliar.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Ada Perang Dagang, Defisit Neraca Perdagangan Bakal Berlanjut

Kinerja Ekspor dan Impor RI
Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia berlanjut hingga semester II 2018. Hal ini karena aksi proteksi yang diterapkan ke dua negara akan ‎menghambat ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, komoditas unggulan ekspor yang akan terkena dampak dari perang dagang ini yaitu minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet.

"Secara spesifik dampak proteksi dagang beberapa negara seperti AS, China akan memukul ekspor komoditas unggulan seperti CPO dan karet," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa 10 Juli 2018..‎

Dia mengungkapkan, sebelum adanya perang dagang, pertumbuhan ekspor CPO Indonesia sudah minus hingga 15 persen. Adanya perang dagang dikhawatirkan akan membuat ekspor komoditas ini semakin anjlok.

"Sebelum realisasi perang dagang saja ekspor CPO sudah minus 15,6 persen, sementara karet anjlok 21,4 persen. Padahal kedua komoditas primer tersebut berkontribusi sebesar 16 persen dari total ekspor nonmigas," kata dia.

Menurut dia, posisi Indonesia yang berada di rantai pasok paling bawah sebagai pemasok bahan baku industri menjadi sebab utama kenapa Indonesia rentan terhadap perang dagang.

"Kesimpulan akhirnya defisit perdagangan sangat mungkin berlanjut di semester II. Karena ekspor melambat, sementara impornya naik maka permintaan valas semakin tinggi ujungnya rupiah rentan terdepresiasi," tandas dia.

Pemerintah Indonesia menyatakan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS terkait rencana mengenakan tarif bea masuk bagi 124 produk asal Indonesia. Namun demikian, Indonesia juga menyiapkan langkah antisipasi dari kebijakan tersebut.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pengenaan tarif bea masuk tersebut merupakan bagian dari langkah AS mengkaji ulang kebijakan Generalized System of Preference (GPS) untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. GSP yaitu fasilitas keringanan bea mausk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang.

"Sesuatu yang biasa GSP di-review. GSP tidak mencerminkan sesuatu hal dengan perdagangan Indonesia. Semua negara yang punya GSP di-review, tapi Indonesia jadi salah satu negara yang dilakukan review tahun ini," ujar dia di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Dia mengungkapkan, Indonesia hanya menempati urutan ke-17 sebagai negara mitra dagang AS. Dengan demikian, review GSP ini tidak akan berdampak signifikan bagi perdagangan kedua negara.

"Tadi kita lihat geopolitik, Indonesia di AS ranking 17 dan juga dari segi impor dan ekspor. Kami tidak melihat ini akan menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia. Kita komunikasi dan lakukan pembicaraan," kata dia.

Namun demikian, lanjut Airlangga, Indonesia tidak akan menyerah begitu saja dengan kebijakan dagang yang diterapkan AS. Menurut dia, Indonesia tetap akan mengoptimalkan ekspor produk-produk unggalan ke Negeri Paman Sam.

"Terhadap sektor yang belum dimanfaatkan pemerintah akan sosialisasi terhadap produk yang masih di dalam GSP yang bisa dimanfaatkan untuk ekspor ke AS. Ini kita akan lakukan kajian, misal prioritasnya kelapa sawit, industri tekstil dan harmonisasinya perlu diringankan. Sektor lain seperti otomotif, pembicaraan dengan Vietnam jadi prioritas. Ada beberapa prioritas yang dibahas," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya