Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memaparkan kondisi terkini ekonomi global dan domestik.
Hal itu disampaikan Darmin Nasution saat menjadi salah satu pembicara dalam acara Diklat Sekolah Pimpinan Departemen Luar Negeri (Sesparlu) Angkatan ke 59 dengan tema Economic Trend : Global Phenomenon and Its Implication to Indonesia.
Darmin mengatakan, dalam perkembangan ekonomi global kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memang membawa banyak guncangan bagi seluruh negara.
Advertisement
Salah satunya perang dagang yang terjadi antara AS dan China dengan menaikkan bea masuk atas produk dari kedua negara.
Baca Juga
Pada awalnya Trump mengenakan bea masuk atas produk milik China untuk memperbaiki tingkat inflasi di negara Paman Sam tersebut. Tahap pertama, AS hanya mengenakan bea masuk terhadap barang China yang paling laris dijual di AS.
"Perang dagang itu dimulai. Dia (AS) bilang kita mau kenakan bea masuk ke barang barang yang banyak di ekspor China ke AS. Ke Eropa juga kena sebetulnya tapi produk baja, alumunium sudah dikenakan lebih dulu bea masuknya oleh Trump. Kemudian, terhadap China ditambah sejumlah produk dia sedang hebat-hebatnya berkembang," ujar Darmin di Gedung Pusdiklat Kemenlu, Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Kebijakan AS mengenakan bea masuk ini langsung mendapat respons dari pihak China. Secara terang-terangan China juga berusaha mengenakan bea masuk terhadap beberapa komoditas yang diimpor dari AS.
"Kalau itu terjadi ya tentu saja China tidak terima karena dia yang paling dirugikan. Maka cara dia adalah dia kenakan lagi bea masuk ke sejumlah produk AS yang banyak dia impor. Sehingga sama-sama kena tapi tidak semua barang," ujar Darmin.
Usaha China membalas pengenaan bea masuk ini dinilai oleh Pemerintahan Trump sebagai upaya untuk perang dagang. Beberapa waktu kemudian, Trump mengambil kebijakan untuk mengenakan bea masuk terhadap sebagian besar produk yang diimpor dari China.
"Tapi AS kelihatannya menganggap mestinya China tidak melawan. Sehingga dia akan bilang itu salah china berani melawan. Kita mau kenakan lagi bea maduk ke lebih banyak barang dari China. Kalau begitu akan ada eskalasi dan benar benar perang dagang," tutur dia.
Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menjelaskan, perang dagang antara China dan AS sebenarnya tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
Namun yang harus diwaspadai adalah banjirnya produk dari kedua negara tersebut karena berusaha mencari pasar baru dengan tingkat bea masuk lebih rendah.
"Buat kita dalam periode jangka pendek kalau soal kedelai kita. Itu jangan salah kita itu makan tempe dan tahu kedelainya dari AS. Jadi made in AS tempe dan tahu. Kita enggak terpengaruh itu karena yang mengenakan bea masuk China," kata dia.
"Tetapi China dalam kesulitan dia ekspor baja dan alumunium panel surya barang barang elektronik kira kira apa yang akan dia lakukan karena sulit dijual di AS harganya naik ya dia jual ke sini dan itu berarti akan ada serbuan produk China yang dikenakan bea masuk oleh AS ke sini," tambah dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
RI Perlu Perkuat Daya Saing
Sebelumnya, Indonesia mesti memperkuat daya saing ekonomi untuk melindungi diri terhadap dampak negatif perang dagang.
Hal itu disampaikan Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jumat 20 Juli 2018.
"Kembali lagi isunya adalah daya saing. Mau trade war sebesar apapun kalau daya saing ekonomi kita kuat, kita akan baik-baik saja," kata dia.
"Itu (membangun daya saing ekonomi) selalu jadi masalah dan itu komplek sekali tidak bisa ditangani satu atau dua kementerian. Tapi faktanya kita mulai coba fokus pada beberapa key area untuk daya saing seperti bangun infrastruktur," tutur dia.
Selain membangun daya saing dan ketahanan ekonomi domestik, Indonesia juga tentu berkomunikasi dengan negara lain, untuk menghindari keharusan Indonesia juga terlibat dalam perang dagang dengan negara tertentu.
"Tapi kita juga tetap lakukan pendekatan biletaral. Apa yang masih dipermasalahkan dengan hubungan kita, apa yang bisa kita kerjakan sama-sama," kata dia.
Indonesia juga terus mencari kemungkinan membuka pasar-pasar baru agar tidak hanya bergantung pada kerja sama perdagangan dengan pasar tradisional.
"Itu yang bisa kita lakukan intinya kitta tetap pertahankan akses pasar tradisional seperti AS, Jepang, Korea, EU, sambil kita buka lagi akses pasar nontradisional. Mungkin itu (pasar nontradisional) kecil-kecil, tapi kalau dikumpulkan banyak jadi bisa balancing. Jadi tergantung pada beberapa negara besar itu tidak aman buat Indonesia," ujar Iman.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement