Liputan6.com, Jakarta Pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump kembali mengambil langkah kontroversial dalam perang dagang dengan Tiongkok. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak besar dan merusak bagi banyak bisnis di Amerika Serikat terutama usaha kecil.
Melansir CNBC Internasional, Senin (14/4/2025), meski beberapa produk teknologi seperti iPhone, chip, dan perangkat komputer mendapat pengecualian dari tarif, sektor lain tidak seberuntung itu. Para pelaku bisnis melaporkan adanya pembatalan pengiriman dan penundaan ekspor secara massal dari Tiongkok ke AS.
Baca Juga
CEO dari Sea-Intelligence, Alan Murphy mengatakan mengatakan beberapa perusahaan di Tiongkok mengalami penghentian pesanan
Advertisement
“Produsen furnitur di Tiongkok sudah mengalami penghentian pesanan total dari para importir AS,” ungkap Murphy, dikutip dari CNBC.
Ia menambahkan bahwa hal serupa juga terjadi pada produk mainan, pakaian, sepatu, hingga peralatan olahraga.
Sementara itu, Brian Bourke dari SEKO Logistics menjelaskan meskipun beberapa pesanan dari Asia Tenggara mulai berjalan kembali setelah masa penangguhan tarif selama 90 hari, pemesanan dari Tiongkok masih banyak yang dibatalkan.
“Hampir semua pengiriman tertunda hanya karena terkait dengan bisnis di Tiongkok,” ujar Alan Baer, CEO OL USA.
Bisa Menghentikan Perdagangan Antara AS dan China
Langkah Trump ini, menurut para pakar ekonomi, bisa menghentikan sebagian besar perdagangan antara AS dan China. Erica York, Wakil Presiden Kebijakan Pajak Federal dari Tax Foundation, menilai bahwa tarif besar-besaran ini benar-benar membatasi ruang gerak pelaku usaha.
“Mungkin akan ada beberapa produk yang tetap diimpor karena belum ada penggantinya, tapi secara umum, tarif ini menghentikan semuanya,” tegas York dalam acara “The Exchange” di CNBC.
Tekanan Terbesar
Tekanan terbesar dirasakan oleh produk-produk dengan margin keuntungan rendah. Menurut Murphy, barang-barang seperti elektronik, peralatan medis, dan mesin yang membutuhkan teknologi tinggi tidak mudah untuk dialihkan produksinya ke negara lain. Butuh waktu dan investasi besar untuk mengatur ulang jalur manufaktur.
Dalam kondisi yang serba tidak pasti ini, banyak perusahaan mencari alternatif. Beberapa mencoba memindahkan produksi ke Vietnam atau India, sementara lainnya mempertimbangkan untuk memangkas harga di pasar Eropa agar produksi tetap berjalan. Bahkan, ada yang terpaksa menghentikan jalur produksi mereka.
Mirip Dengan Kekacauan Pandemi Covid-19
Di sisi lain, pelaku usaha kecil menjadi pihak yang paling tertekan. Stephen Lamar, CEO dari American Apparel & Footwear Association, mengatakan bahwa situasi ini mirip dengan kekacauan yang terjadi selama pandemi COVID-19.
“Perubahan kebijakan yang mendadak ditambah tarif tinggi membuat rantai pasokan hancur. Banyak perusahaan terpaksa membatalkan pesanan karena beban tarif tidak dapat diprediksi dan terlalu mahal untuk ditanggung,” ujar Lamar.
Advertisement
Kekurangan Produk
Lamar juga menegaskan bahwa jika situasi ini tidak segera diperbaiki, akan terjadi kekurangan produk secara luas dan hilangnya pendapatan bagi banyak bisnis kecil. Ia mendesak pemerintah untuk memperpanjang masa jeda perang dagang sebelum kerusakannya menjadi tidak bisa diperbaiki.
Perusahaan logistik besar seperti Maersk juga mulai merasakan dampaknya. Mereka memperkirakan akan ada restrukturisasi besar-besaran dalam layanan pelayaran ke Amerika Utara, karena turunnya volume pemesanan dan meningkatnya biaya operasional.
“Akan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengurai kekacauan ini. Kami memperkirakan kemacetan dan kenaikan biaya pengiriman selama beberapa bulan ke depan,” tulis Maersk dalam surat kepada klien mereka.
Murphy dari Sea-Intelligence menambahkan bahwa sebagian besar produsen di Tiongkok masih enggan memindahkan produksi mereka ke AS, bukan hanya karena biayanya mahal, tapi juga karena mereka tidak tahu arah kebijakan pemerintah AS selanjutnya.
“Masalah terbesarnya adalah ketidakpastian. Tidak ada yang mau berinvestasi besar jika tarif ini hanya sekadar taktik negosiasi,” pungkasnya.
