Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina menyatakan masih menunggu ketersediaan pasokan minyak sawit fatty acid methyl esthers (FAME) dari para produsen guna dapat mendukung aturan biodiesel 20 persen (B20).
Keberadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini masih belum optimal menerapkan B20 bukan akibat faktor tidak siapnya Pertamina melakukan pengolahan dan pengelolaan. Namun ini karena masih terkendalanya pasokan FAME dari para produsen.
Vice President Communication Coorporate PT Pertamina Adiatma Sardjito, mengatakan posisi perusahaan dalam mematuhi aturan B20 hanya sebagai penerima pasokan FAME saja. Sehingga koorporasi bergantung kepada para produsen minyak sawit.
Advertisement
Baca Juga
"Pertamina memiliki 112 terminal BBM, kemudian 74 sudah siap mengolah FAME. Dari rencana public service obligation (PSO) yang Pertamina terbitkan, baru 58 persen yang disuplai FAME karena kurang pasokan dari produsen," ujar dia di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Adiatma mengungkapkan, terminal BBM milik Pertamina di daerah yang masih tersendat menerima pasokan FAME dari produsen adalah Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Namun dia membantah jika Pertamina dapat dikenakan sanksi lantaran tidak mematuhi aturan mencampur FAME sebagai penerapan B20. Belum maksimalnya B20 di BBM Pertamina sebab minimnya pasokan FAME.
Menurut dia, justru Pertamina telah melaksanakan kebijakan sejenis sejak 2006. Pada saat itu, Pertamina telah memulai dengan komposisi B250 di BBM produksinya.
"Denda itu hanya berlaku kalau tidak melaksanakan apa yang sudah jadi tugas kita, dalam hal ini Pertamina. Tapi kan FAME tidak ada, nah kalau terkait pasokan FAME kan bukan kami yang urus," kata dia.
Meski demikian, Adiatma tetap berupaya menjamin cukupnya ketersediaan konsumsi BBM kepada masyarakat. Hal itu telah menjadi tugas utama Pertamina yang juga menjadi laporan setiap pekan menyoal ketahanan stok BBM di pasaran.
"Jumlahnya berapa kemudian dibagi dengan pengeluaran per hari. Jumlah satuan stok itu dalam satuannya hari," tandas dia.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 31 Agustus 2018 telah mengeluarakan kebijakan untuk mendorong perusahaan penyedia BBM mendorong menerapkan green energy. Kebijakan B20 juga dilakukan untuk mengendalikan angka impor BBM sehingga diharapkan ikut mendukung stabilitas nilai rupiah.
Sedangkan kebutuhan Pertamina terhadap ketersediaan FAME guna dicampurkan ke BBM jenis solar subsidi dan non subsidi mencapai 5,8 juta kiloliter setiap tahunnya.
Â
Pemerintah Diminta Konsisten Terapkan Kebijakan B20
Kebijakan pemerintah terkait pencampuran minyak sawit atau CPO ke Solar sebesar 20 persen (B20) diharapkan tidak hanya demi kepentingan industri sawit dalam negeri. Kebijakan ini juga harus memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan.
Pengamat Energi Marwan Batubara mengatakan, dasar pemerintah menerapkan kebijakan ini memang dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun dia khawatir jika kebijakan tersebut sebenarnya hanya demi menyelamatkan industri CPO dan mengabaikan masalah ketahanan energi nasional.
"Soal B20, hingga akhir tahun ada 2,5 juta kiloliter (kl) biodisel yang dicampur dengan Solar, itu bisa hemat devisa USD 1 miliar. Tahun depan 5-6 juta kl dan hemat USD 3 miliar-USD 3,5 miliar. Ini memang menolong, tapi harus konsisten. Jangan sampai ini hanya untuk menolong industri CPO," ujar dia dalam diskusi Menyoalkan Kebijakan Energi Nasional di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Baca Juga
Saat ini industri CPO memang tengah menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari harga jual yang turun hingga kampanye negatif yang dilakukan oleh sejumlah negara.
‎"Ini di 2015-2016 pemerintah juga gencar soal CPO. Karena harga CPO saat itu sedang turun. Waktu itu turun ke USD 400 per ton, dari biasanya USD 700. Sekarang permintaan turun, masalah boikot oleh Eropa, kemudian India terapkan pajak masuk, sehingga permintaan kita turun," ungkap dia.
Oleh sebab itu, lanjut dia, penerapan kebijakan ini harus dilakukan secara konsisten. Jangan kebijakan ini diberlakukan ketika harga CPO turun, sedangkan ketika harga tinggi, kebijakan tersebut dilupakan dan menjadi masalah baru bagi ketahanan energi nasional.
"Di industri ini, 30 persen pemilik industri sawit dari asing seperti Singapura, kemudian para pengusaha besar. Sedangkan petani hanya 3 persen. Jadi jangan hanya untuk industri sawit semata dan ujungnya ketahanan energi jadi terganggu," tandas dia.
Advertisement