Buntut Kebijakan Menteri Susi, Nelayan Sibolga Jadi Tukang Becak

Wali kota Sibolga bercerita nasib nelayan di daerahnya.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 14 Nov 2018, 14:45 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2018, 14:45 WIB
Walikota Sibolga Syarfi Hutauruk (batik biru) membahas industri kelautan dan perikanan di Bappenas
Walikota Sibolga Syarfi Hutauruk (batik biru) membahas industri kelautan dan perikanan di Bappenas. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ternyata bermasalah di daerah. Wali kota Sibolga Syarfi Hutauruk menjelaskan, perihal fakta yang terjadi kepada nelayan di tempatnya memimpin.

Ia menyebutkan, kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti membuat nelayan di daerahnya makin susah karena adanya aturan baru seperti pelarangan menangkap sejumlah jenis makhluk laut dan melarang jenis kapal penangkap ikan, namun tidak diimbangi insentif bagi nelayan.

Menurutnya, aturan terlalu terburu-buru, sehingga nelayan tidak bisa siap. Bantuan pemerintah juga tidak cukup sehingga tidak bisa menopang perekonomian nelayan. Akibatnya, produksi nelayan menurun, bahkan sampai beralih profesi menjadi tukang becak.

"Ada yang sekarang berbecak, jadi tukang becak paling banyak. Ibu-ibu yang biasa mengolah, merebus ikan, jadi menganggur total. Ada lagi yang beralih profesi negatif, tetapi enggak perlu saya ceritakan," ujar Syarfi saat berbincang dengan Liputan6.com di sela acara diskusi industri perikanan dan kelautan di Gedung Bappenas, Rabu (14/11/2018).

Ia mengaku salut dengan kebijakan populer Susi menenggelamkan kapal, namun Syarfi mengatakan, Menteri KKP tak sebatas bertugas menenggalamkan kapal melainkan mengurus produksi. Pihak pemerintah pun diminta peka dengan dampak kebijakan pusat di daerah, sebab kebijakan yang cocok di satu daerah belum tentu cocok di daerah lain.

Masalah lainnya adalah bermacam perizinan yang berfokus ke pusat. Nelayan pun kembali harus mengorbankan waktu dan biaya untuk mengurus perizinan. Banyaknya uang yang perlu keluar membuat nelayan makin terjerat rentenir.

"Yang kedua, banyak sekali aturan perizinan yang semuanya ditarik ke pusat dan provinsi yang makan waktu lama (untuk diurus). Itu kan cost-nya tinggi. Yang ketiga bantuan-bantuan nelayan itu agak kurang, sehingga hasil turun, dan angka pengangguran jadi tinggi, angka kemiskinan tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat di daerah-daerah perikanan," ucap Syarfi.

Syarfi turut membantah laporan pihak KKP yang menyatakan produksi nelayan naik. "Kata KKP naik, sementara kami di daerah tahu itu (produksi ikan) turun," tegasnya.

Sebagai solusi, sang wali kota meminta agar Susi mau mendengarkan saran orang-orang. Selama ini, saran yang ia berikan belum mendapat tindak lanjut.

"Maunya agar Ibu susi itu membuka diri pada saran anggotanya di bawah. Jangan terlalu keras juga dengan masukan-masukan anak buah atau daerah-daerah, karena kami yang merasakan di bawah," jelasnya.

Nelayan Butuh Modernisasi

Ikan sarden
Ilustrasi ikan sarden tangkapan nelayan. (Sumber Pixabay)

Kepada pemerintah, Syarfi meminta supaya lebih proaktif membantu nelayan. Ini bertujuan agar nelayan tetap produktif meski ada banyak kebijakan baru.

Bantuan yang dibutuhkan nelayan terutama adalah alat-alat modern, akses perbankan yang mudah, dan asuransi. Pasalnya, selama ini bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan di daerahnya.

"Negara harus memberikan bantuan, memodernisasi alat tangkap seperti kapal yang sama dengan luar (negeri), yang bisa masuk ZEE. Mungkin kapal yang 100 ton, kemudian alat tangkapnya, perbankannya, kemudian kartu nelayan supaya kalau ada kecelakaan bisa dibiayai oleh asuransi," ucapnya. 

Untuk masalah kebijakan, Syarfi menyebut agar kebijakan pusat tidak digeneralisasi ke semua daerah, karena kebutuhan suatu daerah berbeda-beda. "Kadang-kadang mereka sesuaikan semua daerah, (padahal) alamnya berbeda," pungkasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya