Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-JK telah meluncurkan peta jalan Making Industry 4.0. Peta jalan tersebut fokus pada percepatan penumbuhan sektor manufaktur dengan cara memperbaiki jalur distribusi.
Meski demikian sampai kini peta jalan tersebut masih berjalan lambat. McKinsey and Company Partner and Leader, Southeast Asia, Operations practice, Vishal Agarwal mengatakan, pihaknya menemukan enam faktor yang menyebabkan pelannya penerapan lndustri 4.0 pada perusahaan-perusahaan yang sedang dalam tahap implementasi.Â
Keenam faktor tersebut, pertama kesulitan dalam merancang dengan jelas peta jalan untuk bertumbuh pada skala besar. Kedua, data-data yang tersimpan secara terpisah dan tiadanya satu platform yang sesuai untuk melakukan integrasi.
Advertisement
Faktor ketiga, kekurangan orang-orang dengan kemampuan digital untuk menjalankan peta jalan yang telah dirancang.
"Kemudian juga tantangan tantangan dalam menemukan dan memprioritaskan proyek percontohan dengan nilai bisnis yang jelas, kelima kekurangan pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan proyek dan infrastruktur. Serta keenam kekhawatiran terhadap resiko keamanan cyber," ujar Agarwal di Ritz Carlton, Jakarta, Senin (10/12/2018).
Baca Juga
Enam tantangan ini menyebabkan perusahaan yang sebelumnya bersemangat menerapkan industri 4.0 kemudian lesu. Selain itu, tantangan lain yang membuat perusahaan enggan menerapkan industri 4.0 adalah hanya sedikit keuntungan yang diperoleh dari penerapannya.Â
"Alasan terjebaknya perusahaan di tahap percontohan (pilot trap) sama dengan alasan-alasan yang digunakan perusahaan yang menghindari implementasi lndustri 4.0. Alasan-alasan utamanya adalah perusahaan tersebut melihat bahwa keuntungan jangka pendek," ujar dia.Â
"Sehingga tidak sepadan dengan usaha yang harus dikeluarkan sebuah bisnis untuk melakukan transformasi digital atau kesulitan dalam menggabungkan sistem teknologi informasi (TI), dan kurangnya koordinasi antara unit-unit bisnis seperti Tl, pemasaran dan penjualan," tutur Agarwal.Â
Â
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Â
JK: Indonesia Belum Sepenuhnya Revolusi Industri 4.0
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia belum sepenuhnya menerapkan Revolusi Industri 4.0 karena masih ada industri yang menggunakan teknologi revolusi pertama, kedua, dan ketiga.
"Dalam praktiknya, kita ini masih ada bagian yang masih di Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga. Semua orang bermimpi untuk 4.0, padahal masih ada yang pertama, masih ada petani kita yang menggunakan cangkul," kata Wapres Jusuf Kalla, saat menghadiri penutupan Silaknas dan Milad ke-28 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), di Bandarlampung, seperti dikutip dari Antara, Sabtu 8 Desember 2018.
Menurut JK, memasuki era revolusi industri keempat bukan berarti Indonesia telah selesai dengan perkembangan industri sebelumnya.
Wapres menyatakan, pada beberapa bidang industri di Tanah Air masih menerapkan teknologi lama, seperti penggunaan mesin uap, pengerjaan manufaktur dengan listrik dan komputerisasi.
"Kita ini seakan-akan dunia akan dikuasai 4.0, kita masih pertama ada, banyak industri yang serupa dengan bengkel. Revolusi ketiga dengan ditemukannya komputer, kita masih banyak orang tidak menguasai itu," ujar JK lagi.
Revolusi industri yang terus meningkat seiring perkembangan zaman, lanjut JK, memang menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah negara untuk mengembangkan perekonomiannya di bidang industri.
Namun, perkembangan revolusi industri tersebut tidak semuanya cocok untuk diterapkan di sebuah negara.
JK mencontohkan, Revolusi Industri 4.0 cocok diterapkan di Jepang karena negara dengan penduduk yang semakin sedikit pasti memerlukan kerja robot dan otomasi dalam memajukan perindustriannya.
"Memang di negara-negara yang penduduknya kurang, menurun, cenderung menjadi tua, kayak di Jepang, itu menjadi keharusan, karena tanpa robotisasi dia tidak bisa berfungsi lagi," kata JK.
Bahkan Negeri Sakura tersebut sedang mempersiapkan masyarakatnya untuk menyambut Revolusi Industri 5.0 pada tahun 2025 mendatang.
"Saya tidak tahu nanti apa yang kelima, tentu di atasnya robotisasi dan otomatisasi. Mereka, Jepang, sudah mempersiapkan masyarakatnya menerima itu," kata JK pula.
Karena itu, untuk mengikuti perkembangan teknologi khususnya di bidang industri, Wapres berharap organisasi cendekiawan seperti ICMI dapat menciptakan generasi penerus agar siap menghadapi revolusi industri.
"Kita belajar dari banyak organisasi, karena itulah maka bentuk organisasi ICMI ini harus memperkuat kelompok-kelompok keilmuan, baru bisa menjadi organisasi yang kuat," ujar Wapres JK menegaskan.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement