Dorong Ekspor, Pemerintah Jokowi-JK Kaji Kebijakan Baru

Penurunan ekspor yang terjadi pada November sebesar 6,69 persen menjadi USD 14,43 miliar, tidak hanya disebabkan perang dagang.

oleh Merdeka.com diperbarui 18 Des 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 18 Des 2018, 18:30 WIB
Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah saat ini telah mengkaji kebijakan baru untuk mendorong peningkatan ekspor. Salah satu yang tengah diupayakan adalah diversifikasi ekspor.

"Diversifikasi ekspor tetap jalan tetapi kita masih mencari juga kebijakan-kebijakan baru untuk mendorong ekspor," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (18/12/2018).

Dia menuturkan, penurunan ekspor yang terjadi pada November sebesar 6,69 persen menjadi USD 14,43 miliar, tidak hanya disebabkan perang dagang. Namun, karena ada beberapa sebab lain seperti respons terhadap ekspor CPO.

"Ekspor kita kelihatannya bukan sekadar karena perang dagang, tapi termasuk perang dagang. Kalau lihat ekspor kita ke AS turun, China turun, dua-duanya turun, tetapi Jepang naik," jelasnya.

"Kemudian ekspor kita ke India nomor empat, turunnya banyak jauh lebih banyak dibandingkan ke China dan AS. Ada karena perang dagang, tetapi reaksi dari negara-negara tertentu, misalnya, atas CPO kita yang telalu mendominasi di negaranya dia bikin bea masuk gede-gede," dia melanjutkan.

Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menambahkan, penurunan ekspor bulan lalu tidak dipicu oleh stuktural ekonomi RI yang lemah. Tetapi lebih kepada respons negara tujuan ekspor atas beberapa kondisi global yang terjadi.

"Jadi ini adalah bukan karena struktural ekonomi kita yang lemah, tetapi respons dari beberapa peristiwa perang dagang dan menghambat CPO terlalu cepat."

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Defisit Neraca Dagang November 2018 Terbesar dalam 5 Tahun

Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan selama November 2018 defisit USD 2,05 miliar. Angka tersebut terbesar sepanjang tahun ini. Tidak hanya itu, defisit neraca dagang ini juga yang terparah sejak lima tahun terakhir. Defisit terbesar sebelumnya tercatat pada Juli 2013 sebesar USD 2,03 miliar.

Direktur Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Anggoro Dwitjahyono mengatakan, defisit ini dipengaruhi oleh laju impor yang tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor. "Ini defisit yang terdalam memang sepanjang tahun ini, cukup besar. Kalau dibandingkan Juli 2013, iya beda sedikit," ujarnya, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (17/12/2018).

Menurut data BPS, pada November laju ekspor sebesar USD 14,38 miliar, turun 6,69 persen dibandingkan bulan lalu. Angka ini juga turun 3,28 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Penurunan juga terjadi pada impor sebesar 4,47 persen atau mencapai USD 16,88 miliar namun masih tumbuh positif 11,68 persen (yoy).

Adapun penyebab membengkaknya defisit adalah impor migas yang cukup besar sejak awal tahun. BPS mencatat, impor migas sudah mengalami defisit USD 1,46 miliar sejak Januari hingga November 2018, sementara impor nonmigas defisit USD 583 juta.

Berdasarkan negara asal impor, secara kumulatif, China masih mendominasi pangsa impor Indonesia sebesar USD 40,8 miliar atau tumbuh 28,07 persen, disusul oleh Jepang sebesar USD 16,6 miliar atau tumbuh 11,41 persen. Kemudian, disusul oleh Thailand sebesar USD 10,09 miliar atau 6,94 persen, Singapura sebesar USD 8,89 miliar atau 6,11 persen, serta Amerika Serikat (AS) sebesar USD 8,39 miliar atau 5,76 persen.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya