DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK, Bentuk Intervensi?

Dewan Perwakilan Rakyat memperkuat wewenang. Melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR yang direvisi, lembaga legislatif itu seolah ingin mengukuhkan kedigdayaannya dari lembaga lain.

oleh Delvira HutabaratAries Setiawan diperbarui 07 Feb 2025, 00:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2025, 00:00 WIB
Pemandangan Indah Air Mancur Warna-warni Hiasi Gedung DPR
Gedung MPR/DPR/DPD. (Liputan6.com/JohanTallo)... Selengkapnya
Banner Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK
Banner Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat memperkuat wewenang. Melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR yang direvisi, lembaga legislatif itu seolah ingin mengukuhkan kedigdayaannya dari lembaga lain.

Pembahasan revisi tata tertib dikebut. Hanya dalam waktu satu hari, tuntas. Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui perubahan peraturan itu pada Senin, 3 Februari 2025.

Sehari berikutnya, Selasa, 4 Februari 2025, Paripurna DPR mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Revisi berupa tambahan Pasal 228A memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengevaluasi pimpinan lembaga negara atau institusi yang ditetapkan melalui rapat paripurna.

Artinya, semua pejabat negara yang ikut uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) serta ditetapkan dalam rapat paripurna, bisa dievaluasi oleh DPR.

Sejumlah pejabat yang bisa dicopot jika berdasarkan aturan baru itu di antaranya, komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hakim Mahkamah Agung (MA), Panglima TNI, hingga Kapolri.

Bunyi Pasal 228A Ayat (1) menyebutkan, dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 Ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah dipilih DPR.

Selanjutnya, pada Ayat (2) berbunyi, hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Martin Manurung, menyatakan revisi tata tertib bukan berarti DPR bisa mencopot jabatan ketua-ketua lembaga, melainkan hanya memberikan rekomendasi saja. Evaluasi dilakukan apabila pejabat terkait dinilai tidak berkinerja baik, maka selanjutnya DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.

"Ya enggak bisa (copot) dong, tetapi DPR bisa menilai bahwa yang bersangkutan, misalnya, layak untuk ditinjau kembali, gitu lho. Bukan berarti langsung kemudian DPR mencopot," kata Martin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025.

Martin menjelaskan, mekanisme evaluasi pejabat yakni dari komisi terkait ke pimpinan DPR, baru kemudian pimpinan mengirim ke pemerintah.

"Tidak seluruh pejabat ya, ini pejabat yang melalui fit and proper test di DPR bisa kita dalam kesimpulan rapat itu merekomendasikan untuk ada evaluasi terhadap yang bersangkutan. Dan itu disampaikan kepada pimpinan DPR, bukan langsung kepada pemerintah, baru pimpinan DPR, nanti meneruskan kepada pemerintah," jelas Martin.

"Jadi bukan DPR mencopot yang bersangkutan, enggaklah," sambungnya.

Rekomendasi DPR Mengikat

Sementara itu, Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menegaskan presiden harus patuh terhadap rekomendasi DPR atas hasil evaluasi pejabat negara. Sebab, aturan baru tata tertib DPR bersifat mengikat. Termasuk, jika pejabat tersebut direkomendasikan harus dicopot, presiden harus mencopotnya.

"Ya itu tadi mengikat. Mengikat itu seperti itu," kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.

Bob menjelaskan rekomendasi DPR bersifat mengikat, sama halnya ketika calon pejabat negara mengikuti fit and proper test. Pejabat negara hasil evaluasi bisa direkomendasikan dicopot atau berlanjut jabatannya.

"Mengikat seperti halnya ketika pada saat calon tersebut melakukan fit and proper test dan sebagainya, itu mengikat. Sehingga hasil dari pada evaluasi fit and proper test tadi itu, juga demikiannya dengan hasil evaluasi atas kinerja dari pada calon yang telah diparipurnakan atau setelah menjabatlah, istilahnya seperti itu," ujar Bob.

Apabila hasil rekomendasi mencopot pejabat, kata Bob Hasan, maka DPR juga dapat memerintahkan kepada komisi terkait untuk menggelar uji kelayakan dan kepatutan lagi untuk menyeleksi pejabat pengganti.

"Ya tentunya kan kembali dulu kepada komisi terkait, karena kan yang memberikan fit and proper test itu kan melalui AKD (Alat Kelengkapan Dewan) atau komisi terkait," jelas Bob.

Baca juga Adian PDIP Persilakan Pihak yang Tolak Revisi Tatib DPR untuk Gugat ke MK

Infografis Sederet Pejabat Publik Bisa Dicopot Pasca-Revisi Tatib DPR
Infografis Sederet Pejabat Publik Bisa Dicopot Pasca-Revisi Tatib DPR. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya

Bentuk Intervensi DPR Terhadap Lembaga Lain

Rapat Paripurna
Rapat Paripurna DPR RI. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyatakan penegasan fungsi pengawasan DPR terhadap calon-calon penyelenggara negara yang pengangkatannya melalui proses politik di DPR adalah bentuk intervensi keliru dalam ketatanegaraan.

"Memang tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frasa pada Pasal 228A Ayat (2) menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat, tentu bisa berujung pada pencopotan jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara," ujar Hendardi kepada Liputan6.com, Kamis, 6 Februari 2025.

Hendardi menjelaskan substansi norma sebagaimana Pasal 228A keliru secara formil, di mana peraturan internal sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan dan/atau mengatur pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga dimaksud.

Sementara secara substantif, norma di atas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

"Frasa menurut Undang-Undang Dasar ini ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur Undang-Undang Dasar, memastikan kontrol dan keseimbangan antar masing-masing cabang kekuasaan, dan tidak boleh ada pengaturan lain yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan Undang-Undang Dasar maupun undang-undang lainnya," kata Hendardi.

"Norma Pasal 228A juga melampaui puluhan undang-undang sektoral lain, yang justru memberikan jaminan independensi pada MA, MK, BI, KPK, KY dan lainnya, yang berpotensi dibonsai oleh DPR dengan kewenangan evaluasi yang absurd," tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai ada beberapa kelemahan mendasar dari apa yang dilakukan DPR, karena tidakpahamannya soal peraturan perundang-undangan.

Pertama, mengoreksi lembaga negara lain, terutama memberhentikan pejabatnya bukan tugas dan wewenang DPR. Dalam hal ini, kata Feri, DPR sudah mencampuri terlalu jauh kekuasaan lembaga lain.

Kedua, DPR tidak memahami perundang-undangan. Menurut Feri, bagaimana bisa peraturan tata tertib bisa mengubah Undang-Undang Dasar dan bunyi undang-undang.

"Jadi aneh sekali, terjadi pelanggaran. Tidak sah itu sebenarnya," kata Feri kepada Liputan6.com, Kamis, 6 Februari 2025.

"Ketiga, itu peraturan tata tertib. Apa pengaruhnya? Harusnya lebih banyak kepada urusan internal DPR. Namanya saja tata tertib DPR," lanjut Feri.

Feri menilai kelakuan DPR ini janggal dan tidak pantas dipraktikkan dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di negara Indonesia.

"Motifnya mungkin dalam rangka menekan lembaga-lembaga tertentu, terutama Mahkamah Konstitusi. Itu tentu cara permainan tidak sehat yang dilakukan DPR saat ini. Kebodohan DPR ini perlu ditertawakan secara berjemaah oleh rakyat," ucap Feri.

Baca juga DPR Usul Moge Masuk Jalan Tol, Pengamat Wanti-Wanti Risiko Kecelakaan

Merusak Sistem Tata Negara

Rapat Paripurna DPR mengesahkan revisi UU BUMN menjadi undang-undang pada Selasa (4/2/2025).
Rapat Paripurna DPR mengesahkan revisi UU BUMN menjadi undang-undang pada Selasa (4/2/2025). (Merdeka.com/ Alma Fikhasari)... Selengkapnya

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai DPR gagal memahami makna frasa pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20A (1) UUD Negara RI 1945.

Hendardi menjelaskan fungsi pengawasan yang melekat pada DPR adalah mengawasi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang. "Artinya, yang diawasi DPR adalah pelaksanaan undang-undang, bukan kinerja personal, apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis," kata Hendardi.

Oleh sebab itu, Hendardi menegaskan, kesewenangan DPR ini tidak boleh dibiarkan, dan harus dilawan. Peraturan yang cacat formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan. Kalaupun sudah telanjur diundangkan, kata Hendardi, harus diperkarakan ke Mahkamah Agung untuk dibatalkan.

"Sebaiknya DPR berfokus pada tugas utama pembentukan undang-undang, pengawasan atas berjalannya undang-undang yang dibentuknya dan fungsi budgeting secara lebih berkualitas. Bukan merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi memaksa kepatuhan buta pada parlemen dan selalu membuka ruang-ruang transaksi dan negosiasi," tegas Hendardi.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyatakan peraturan DPR itu harus dinyatakan tidak sah karena mengerjakan sesuatu yang bukan wewenangnya.

"Masa kita membiarkan ada peraturan DPR bisa mengubah UUD. Misalnya soal kekuasaan kehakiman yang merdeka Pasal 24 UUD. Kalau kemudian peraturan DPR bisa mencopot hakim MK, misalnya, bukan merdeka lagi itu kekuasaan kehakiman, kata Feri.

Kemudian, prinsip konstitusional dalam sistem presidensial yang berlaku di Indonesia adalah kekuasaan yang terpisah atau mekanisme check and balances.

"Eksekutif ya eksekutif, legislatif ya legislatif, yudikatif ya yudikatif. Yang ada adalah check and balances dalam menjalankan fungsi tersebut. Misalnya, mereka tidak bisa diberhentikan oleh orang politik di parlemen karena check and balances-nya ada di sistem perekrutan, seleksi para hakim," kata Feri.

"Untuk menjalankan kewenangan dan ada saat menjalankan kewenangan, tidak boleh diberhentikan dan dipecat. Kecuali mekanisme yang sudah ditentukan oleh sistem itu sendiri. Misalnya, pelanggaran kode etik ada MKMK," tambahnya.

Karena itu, Feri menilai DPR telah melakukan langkah konyol dalam bertatanegara. Akibatnya, ke depan sistem tata negara Indonesia akan rusak jika peraturan itu diterapkan.

"Sepertinya para teman-teman politisi di DPR tidak betul-betul memahami konteks ketatanegaraan kita. Mungkin dugaan saya ini adalah kelompok-kelompok yang ngawur dalam bertatanegara, mementingkan apa yang ada di nafsu politiknya. Bukan apa yang sudah dijadikan koridor dalam Undang-Undang Dasar kita," tuturnya.

Sama seperti Hendardi, Feri mengatakan langkah lain untuk membatalkan peraturan DPR itu dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

"Tapi sekali lagi, langkah judicial review itu seolah-oleh apa yang dilakukan oleh DPR itu punya ruang untuk tertib lagi untuk dilaksanakan. Bagaimana kita menertibkan sesuatu ang tidak tertib. Sesuatu yang bodoh ini semestinya tidak ditempuh dengan jalur yang sudah diatur sedemikian oleh Undang-Undang Dasar. Dianggap batal dan tidak pernah ada saja. Kalau tidak ya bertatanegara kita akan semrawut terus," kata Feri.

 

Pemahaman DPR soal Hukum Tata Negara Dipertanyakan

Komisi III DPR RI menggelar fit and proper test  calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisi III DPR RI menggelar fit and proper test calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi. (Dok. Tangkapan Layar Tv Parlemen)... Selengkapnya

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna mempertanyakan keputusan DPR merevisi peraturan tata tertib sehingga bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna, termasuk mengevaluasi hakim konstitusi.

"Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab, cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat ke luar?" ucap Palguna, Kamis, 6 Februari 2025, dilansir Antara. 

Mantan hakim konstitusi itu juga mempertanyakan pemahaman DPR terkait hukum ketatanegaraan. "Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances?" ucap Palguna.

Palguna menyebut revisi tata tertib tersebut mengindikasikan DPR tidak mematuhi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Jika mereka (DPR) mengerti, tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945), tetapi di atas hukum yang mereka suka dan maui dan mengamankan kepentingannya sendiri," tutur Palguna.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menilai pengangkatan dan pemberhentian pimpinan KPK hanya bisa dilakukan oleh presiden sebagaimana diatur dalam undang-undang.

"Betul, tapi surat keputusan pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yang mengatur mengenai Syarat Pemberhentian Pimpinan KPK," kata Tanak, Kamis, 6 Februari 2025.

Perihal pemberhentian dan pengangkatan pejabat lembaga negara, kata Tanak, juga telah diatur dalam Hukum Administrasi Negara.

"Kalau ditinjau dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, Surat Keputusan Pemberhentian Pejabat hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut," ujar Tanak.

Berdasarkan Hukum Administrasi Negara, kata Tanak, surat keputusan pengangkatan pejabat juga bisa dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, berdasarkan gugatan yang diajukan oleh orang atau suatu badan yang merasa kepentingannya dirugikan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK

Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK
Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK. (Liputan6.com/Abdillah) ... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya