Liputan6.com, Jakarta Pengamat ekonomi Fithra Faisal Hastiadi mengatakan impor pangan bukan merupakan hal yang tabu karena dilakukan setiap negara yang terlibat dalam perdagangan internasional.
"Impor itu bukan hal yang tabu. Semua negara pasti impor. Tidak ada negara yang tidak impor karena memang ini mekanisme 'supply and demand'," kata Fithra seperti mengutip Antara, Rabu (20/2/2019).
Dia menjelaskan setiap negara yang melakukan kegiatan perdagangan internasional pasti melakukan impor, meski terjadi perdebatan di Indonesia terkait perbedaan data.
Advertisement
Baca Juga
Pengajar FE Universitas Indonesia ini menilai impor masih dilakukan sebagai upaya untuk stabilisasi harga agar tidak mengganggu daya beli masyarakat dan laju inflasi tetap terjaga.
Namun, apabila pemerintah menyatakan terdapat surplus produksi beras sebanyak tiga juta ton pada 2018 dan harga masih mengalami kenaikan, hal itu terjadi karena biaya logistik yang mahal.
"Seharusnya harga sudah bisa stabil dengan sendirinya kalau memang itu bisa didistribusikan dengan baik. Permasalahannya mungkin kita bicara mengenai ongkos logistik yang mahal," jelas dia.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan suatu negara mendapatkan label swasembada apabila memiliki hasil produksi minimal 80 persen dari total kebutuhan.
Jika menilik data produksi beras dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi sebanyak 29,5 juta ton, maka Indonesia sudah surplus hampir tiga juta ton. "Jika melihat itu, Indonesia sekarang swasembada," katanya.
Meski demikian, swasembada pangan bukan berarti tidak melakukan impor, karena dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kenaikan harga.
Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.
Mentan Angkat Bicara soal Masih Adanya Impor Pangan
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman menanggapi pernyataan Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto yang mengkritik langkah pemerintah Jokowi-JK lantaran banyak impor sejumlah bahan pangan seperti jagung dan beras.
Dia menuturkan, itu merupakan ungkapan yang keliru, sebab pemerintah kini sudah banyak mengekspor bahan pangan ketimbang mengimpornya. "Kita sudah ekspor kok diceritakannya impor," kata dia di Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019).
Meski beberapa waktu lalu pemerintah masih mendatangkan segelintir produk pangan dari luar negeri, ia meneruskan, jumlahnya sudah banyak dikurangi. Sebagai contoh, sebutnya, yakni produksi jagung untuk pakan ternak yang 2018 lalu alokasi impornya telah jauh menipis.
"Ini yang masalah impor khususnya jagung, memang terjadi penurunan drastis seperti disampaikan pak Presiden (Jokowi). Itu berkurang lebih dari 3 juta ton jadi 180 ribu impor di tahun 2018," ungkap dia.
Baca Juga
Impor jagung untuk pakan ternak ini, ia melanjutkan, bahkan telah dihentikan untuk di Surabaya dan sekitarnya, dan lebih mengandalkan produksi lokal dari petani jagung di Madura.
"Dulu kita impor jagung dari Argentina dan Amerika (Serikat) masuk ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Alhamdulillah sekarang kami berterimakasih kepada petani jagung di Madura ini, karena bisa menyuplai Jawa timur ini, khususnya Surabaya," tutur dia.Â
"Dan kita impor jagung tidak masuk lagi, jangan cuma impor. Tahun lalu kita ekspor 380 ribu ton ke Filipina dan negara lainnya. Doakan ekspor tahun ini meningkat," dia menambahkan.
Adapun secara target, Amran berharap, jumlah produksi jagung nasional yang bisa diekspor bisa meningkat pada 2019. "Doakan mudah-mudahan kita bisa ekspor 500 ribu ton," kata dia.
Â
Advertisement