Liputan6.com, Jakarta - Lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Reserach Office (AMRO) menyebut pasar keuangan di kawasan ASEAN akan mengalami peningkatan volatilitas pada paruh kedua 2018.
Chief Economist AMRO, Hoe Ee Khor menyebutkan peningkatan volatilitas pada pasar keuangan terjadi akibat dari ketidakpastian perdagangan global.
"Kombinasi dari peningkatan biaya pinjaman dan apresiasi nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menyebabkan penguatan tekanan keuangan di negara-negara berkembang yang memiliki kerentanan struktural," kata dia, di Gedung BI, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut diyakini dapat memicu aksi penghindaran risiko dan penjualan aset di pasar keuangan negara berkembang.
"Pengetatan kondisi keuangan global sangat terasa di Asia, khususnya di Indonesia dan Filipina, yang mengalami peningkatan biaya pinjaman secara tajam," ujarnya.
Dia mengungkapkan, total aliran modal keluar dari kawasan mencapai USD 6 miliar selama periode September-Oktober 2018 akibat likuidasi portofolio oleh investor asing di kawasan.
"Perubahan kebijakan moneter di negara-negara maju saat ini seharusnya dapat mengurangi tekanan arus modal keluar dari kawasan ASEAN+3," ujarnya.
Di awal 2019, lanjutnya, pelemahan indikator ekonomi dan ekspektasi perlambatan ekonomi global (termasuk di China) semakin memperlemah kondisi pasar keuangan.
"Kebijakan the Fed dan ECB yang telah berada pada jalur normalisasi secara tidak langsung semakin meningkatkan kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi global yang menyebabkan volatilitas pasar Iebih lanjut.
"Ke depan, penguatan kondisi keuangan global diperkirakan akan mendukung pertumbuhan ekonomi, selama arah kebijakan dapat dikomunikasikan dengan baik dan tidak terdapat banyak kejutan di pasar keuangan," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertumbuhan Ekonomi
Hoe Ee Khor menyebutkan ekonomi kawasan ASEAN+3 dihadapkan pada tantangan di tengah risiko perlambatan perdagangan global.
"Ketidakpastian perdagangan masih tetap tinggi dan risiko eskalasi ketegangan perdagangan tetap harus diperhitungkan meskipun negosiasi perdagangan SinoAS dilaporkan mengalami kemajuan," kata dia.
Dia mengungkapkan dampak risiko proteksionisme perdagangan ke kawasan terutama ditransmisikan melalui jalur ekspor dan rantai nilai global (global value changes GVCs), yang dapat diperkuat oleh efek rambatan perlambatan pertumbuhan global.
"Negara - negara kawasan yang memiliki eksposur ekspor langsung ke China yang besar, maupun yang tidak langsung melalui jalur GVC ke luar kawasan, akan terkena dampak signifikan di jangka pendek," ujarnya.
Namun, Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak terlalu terdampak.
"Hal ini dapat terjadi pada negara-negara dengan tingkat keterbukaan dan ketergantungan perdagangan yang besar seperti Hong Kong, Korea, Malaysia, dan Singapura, serta hingga batas tertentu juga cukup rentan bagi Vietnam," ujarnya.
Pada skenario terburuk, lanjutnya, AMRO memperkirakan eskalasi ketegangan perang dagang dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi kawasan sebanyak 40 bps.
"Di situasi ekstrem ini, AS dan Tiongkok diasumsikan akan mengenakan tarif sebesar 25 persen untuk semua impor antara kedua negara. Dalam jangka pendek, dampak negatif terhadap pertumbuhan di beberapa negara-negara kawasan secara absolut berpotensi lebih besar, yaitu mencapai 100 bps," ujarnya.
Perang dagang tersebut, dinilai tidak akan menguntungkan pihak manapun. Semua akan mengalami kerugian akibat adanya ketegangan perdagangan.
"AS dan China akan sama - sama dirugikan, terlebih jika tambahan kebijakan non-tarif juga diterapkan," ungkapnya.
Dampak absolut perang dagang terhadap AS selama 2019-2020 relatif Iebih rendah (-30 bps), dibandingkan terhadap China ( 60 bps). Namun, dampak relatif terhadap AS akan jauh lebih besar (13 persen terhadap penumbuhan rata - rata 2019 2020) dibandingkan terhadap Tiongkok (di bawah 10 persen).
"Otoritas di kawasan harus terus waspada mengingat risiko menjadi semakin nyata. Beberapa negara kawasan telah menerapkan Iangkah-langkah kebijakan yang bersifat pre-emptive atau frontloaded yang telah membantu meredakan kekhawatiran pasar," ujarnya.
Dia mengungkapkan, di beberapa negara, kebijakan moneter telah diperketat untuk meniaga stabilitas eksternal dan inflasi domestik, serta membendung akumulasi risiko yang mengancam stabilitas keuangan akibat periode suku bunga rendah yang berkepanjangan.
Langkah-langkah lain, sepeni penangguhan proyek inlrastruktur yang membutuhkan banyak bahan baku impor, juga telah dilakukan untuk mengurangi tekanan pada transaksi berjalan.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement