KKP: Pelaku Usaha Tak Laporkan Nilai Perikanan Sentuh Rp 36 Triliun pada 2018

Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan ada banyak cara yang dipakai pelaku usaha perikanan untuk meraup keuntungan lebih secara tidak legal.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jul 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2019, 17:00 WIB
2017017-Ikannya-Angga-Ay1
Sejumlah nelayan menjemur ikan di Muara Angke, Jakarta, Selasa (17/1). Kadin Indonesia menginginkan perbankan bisa memperbesar fasilitas pembiayaan seperti dalam bentuk kredit untuk investasi sektor kelautan di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan ada banyak cara yang dipakai pelaku usaha perikanan untuk meraup keuntungan lebih secara tidak legal.

Salah satu dengan cara menurunkan hasil produksi dalam laporan kepada KKP. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulfikar Mochtar mengatakan, pada 2018 tercatat jumlah ikan yang tidak dilaporkan mencapai 1,2 juta ton. 

"Laporan produksi jauh lebih rendah. Mayoritas kapal melakukan ini. Kami lakukan review, kami temukan tidak kurang 1,2 juta ton ikan yang tidak dilaporkan tahun lalu," kata dia, di Kantor KKP, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Akibat tindakan ini, tercatat sekitar Rp 36 triliun nilai ekonomi hasil perikanan yang tidak dilaporkan. Namun, nilai ini bisa saja lebih besar. "Nilainya kalau di rata-rata satu ekor ikan Rp 30.000 ribu sudah Rp 36 triliun nilai perikanan yang tidak dilaporkan oleh pelaku usaha," ujar dia.

Saat ini, tercatat 2.874 kapal yang izinnya sudah kadaluarsa. Terhadap kapal-kapal ini, pihaknya sudah meminta untuk segera melaporkan perpanjangan izin.

"Lewat enam bulan belum memperpanjang. Kita mendorong untuk segera melaporkan. Kalau melaut, ditangkap. Kalau ditangkap yang mereka sampaikan kepada aparat bahwa KKP lambat proses izin. Padahal sudah hampir kita proses. Tinggal 223 yang sedang kita proses. Karena baru masuk, verifikasi, sisanya pembayaran pajak," ungkapnya.

Selain itu, pelaku usaha juga kerap menangkap ikan di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) yang tidak sesuai dengan yang tertera dalam izin.

"Jalur penangkapan ikan. Seharusnya di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) A dia melakukan di tempat lain. Ini cukup banyak ribuan jumlahnya setiap tahun," ujar dia.

"Kemudian pengurusan izin sebelumnya mayoritas dilakukan calo atau makelar sehingga pemilik kapal tidak mengetahui persoalan yang ada mengenai kapal dan usahanya. Makanya kita memperkenalkan sistem online supaya tidak ada lagi proses calo atau makelar. meskipun belum 100 persen tapi berjalan cukup signifikan," tandasnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Potensi Pajak Sektor Kelautan dan Perikanan yang Belum Dioptimalkan Capai Rp 5 Triliun

2017017-Ikannya-Angga-Ay1
Sejumlah nelayan menjemur ikan di Muara Angke, Jakarta, Selasa (17/1). Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menginginkan perbankan bisa memperbesar fasilitas pembiayaan untuk investasi sektor kelautan di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat potensi pajak yang masih belum bisa dioptimalkan di sektor kelautan dan perikanan mencapai Rp 5 triliun.

Hal ini lantaran masih ada sejumlah perusahaan dan pemilik kapal yang tidak patuh dalam pembayaran pajak.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulfikar Mochtar mengatakan, saat ini jumlah kapal yang tercatat beredar di perairan Indonesia sebanyak 7.987 unit. Namun, dari jumlah tersebut, lebih dari 2.000 kapal belum memperpanjang izinnya.

"Sekitar 2.000 kapal belum perpanjang izin. Selama ini juga banyak yang gunakan makelar untuk mengurus perizinan kapal, sehingga pemilik kapal tidak paham apa masalah yang dihadapi saat proses perizinan," ujar dia di Kantor KKP, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019. 

Selain itu, lanjut dia, masih banyak pelaku usaha perikanan yang melakukan penyimpanan dengan menurunkan ukuran kapalnya di dalam dokumen perizinan, sehingga tidak sesuai dengan ukuran kapal yang sebenarnya.

"Pelaku usaha melakukan jalur lobi untuk dapat perizinan.‎ Masih ada perizinan kapal yang di-markdown, ukuran kapal besar tapi di dokumennya sebesar 30 GT," ujar dia.

Sementara soal penerimaan pajak, Zulfikar menyatakan, ada sebesar RP 36 triliun nilai perikanan yang tidak dilaporkan oleh pelaku usaha perikanan. Dari jumlah tersebut, potensi penerimaan pajaknya diperkirakan mencapai Rp 5 triliun.‎

"Ada Rp 36 triliun nilai perikanan tidak dilaporkan. Potensi pajak Rp 5 triliun. Ini harus ditagihkan pada pelaku usaha supaya lebih optimal. Kita kerja sama dengan Kementerian Keuangan‎. Karena selama ini disebut penerimaan pajaknya dari sektor perikann masih rendah. 2.000 lebih kapal tidak berizin, ini merugikan bagi negara," tandas dia.

Menteri Susi Bantah Kebijakannya Buat Pendapatan Negara Turun

Menteri Susi Pudjiastuti
Menteri KKP, Susi Pudjiastuti saat berbicara pada talkshow Mari Jaga Laut Masa Depan Bangsa di Hall B JCC, Jakarta, Sabtu (6/4). Menteri Susi menghimbau masyarakat, khususnya komunitas pecinta laut untuk terus menjaga keberlangsungan kehidupan di laut. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti kembali membantah bahwa program penertiban ilegal fishing berdampak negatif pada kinerja ekonomi perikanan. Sebaliknya justru berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi perikanan.

Berdasarkan data KKP, pada triwulan pertama tahun 2019 tercatat pertumbuhan PDB sektor perikanan mencapai 5,67 persen. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,07 persen.

"Jadi tidak ada bilang penertiban ilegal fishing membuat mundur atau membuat stagnan ekonomi perikanan. Tidak. Justru luar biasa membaik," kata dia dalam acara Halal bihalal KKP, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019.

Perginya kapal-kapal asing dari laut Indonesia membuat pertumbuhan ekonomi perikanan makin kuat. Lebih menggembirakan lagi karena didukung oleh armada tangkap domestik. "Saya rasa ini sangat luar biasa. Jadi hilang 10.000 kapal asing. Justru malah menaikan pendapatan kita," ujar dia.

"Karena yang dulu satu tidak tercatat, kedua alat tangkap menggunakan jaring-jaring yang luar biasa ukurannya. Kapalnya juga luar biasa besar akhirnya menghabiskan sumber daya perikanan," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya