Industri Rokok Setor Ratusan Triliun ke Negara Tiap Tahun

Setoran super besar tersebut membuat produsen rokok laik disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola pihak swasta.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 03 Okt 2019, 10:29 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2019, 10:29 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor ini salah satunya berasal dari penerimaan cukai dan pajak produk rokok yang tiap tahunnya menyetor ratusan triliun rupiah kepada negara.

Ketua Gabungan Persatuan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan bahkan berkelakar, setoran super besar tersebut membuat produsen rokok laik disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola pihak swasta.

"Perlu kami ingatkan juga, kami industri tembakau itu adalah BUMN yang dikelola oleh swasta. Karena di Golongan I anggota (GAPPRI) kami harus setor ke pemerintah 72 persen dari harga satu bungkus rokok," ucapnya di Jakarta, seperti dikutip Kamis (3/10/2019).

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pendapatan negara dari IHT yang berasal dari cukai dan pajak rokok setiap tahunnya mengalami peningkatan. Seperti pada 2016, dimana kontribusi IHT terhadap pembayaran cukai mencapai Rp 138,69 triliun, atau 96,65 persen dari total cukai nasional.

Untuk tahun ini, Henry melanjutkan, setoran cukai pada produk rokok mencapai Rp 170 triliun. Jika dikalkulasikan dengan sumbangan lainnya, itu bahkan bisa mencapai angka Rp 200 triliun.

"Kami menyumbang cukai tahun ini mencapai Rp 170 triliun. Tahun depan itu ditargetkan lagi Rp 180 triliun. Itu masih dicukainya. Belum lagi di pajak daerah, PPN, itu kurang lebih bisa mencapai Rp 200 triliun," sebut dia.

Oleh karenanya, ia meminta kepada pemerintah agar jangan mematikan industri rokok. Permintaan ini dilontarkannya lantaran cukai rokok akan naik 23 persen pada 2020, serta adanya wacana untuk memperbesar porsi gambar seram pada kemasan rokok sebesar 90 persen.

"Jadi kami adalah angsa bertelor emas yang sehari keluarnya satu. Dan jangan dipaksa dua, nanti mati," ujar Henry.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Menaker: Cukai Rokok Naik, Jangan Sampai Ada PHK

buruh pabrik rokok
Proses pelintingan sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah industri rokok di Kediri, Jatim. Saat ini tinggal 75 industri rokok yang bertahan akibat tarif cukai tembakau naik setiap tahunnya. (Antara)

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri berharap tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) dari industri rokok atas kenaikan cukai rokok di tahun depan.

Alasanya, industri rokok didominasi oleh pekerja perempuan. Selain itu, mereka juga memiliki pendidikan terbatas dan tak lagi muda (paruh baya).

"Kita sih minta jangan sampai ada PHK di industri rokok karena di industri ini kan didominasi pekerja perempuan, juga tak lagi muda dengan pendidikan terbatas," ujarnya di Jakarta, Senin (23/9/2019).  

Hanif menerangkan, dari industri sendiri telah ada permintaan diskusi terkait keputusan Pemerintah menaikkan cukai rokok ini pada tahun depan.

"Belum ada laporan, tapi ada permintaan-permintaan dari industri rokok untuk diskusikan kenaikan cukai rokok ini," kata dia.

Asal tahu saja, Pemerintah memutuskan akan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun 2020. Salah satunya pertimbanganya ialah menekan pengendalian jumlah perokok di Indonesia.  

Indef: Kenaikan Cukai Rokok di 2020 Terlalu Tinggi

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran naik 35 persen. Hal tersebut pun menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, rencana kenaikan cukai ini terlalu tinggi. Dia menilai, kenaikan cukai tersebut hanya akan memberi dampak negatif terhadap petani.

"Ya, terlalu tinggi dan pemerintah enggak punya roadmap yang jelas. Kan harusnya kalau mau dinaikkan konsisten bertahap mengikuti inflasi," ujar Bhima di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (19/9).

"Pemerintah harus orientasi kembalilah tujuan dari pengenaan cukai rokok. Karena dampak ke petani dan konsumen justru nanti negatif," sambungnya.

Bhima juga menyebut kebijakan pemerintah sebagai kebijakan 'kagetan'. Sebab, rencananya kenaikan cukai biasanya dilakukan bertahap dari tahun ke tahun bukan mendadak langsung naik drastis.

"Kan harusnya, kalau mau dinaikkan konsisten bertahap mengikuti inflasi. Kalau enggak salah 2019 enggak ada kenaikan. Susah juga akhirnya naik tiba tiba. Jadi kagetan. Kebijakan pemerintah terkait rokok adalah kebijakan yang kagetan," paparnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya