Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk membuat regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif. Sehingga regulasi dari produk ini tidak disamakan dengan produk rokok konvensional.
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo mengatakan, produk tembakau yang dipanaskan merupakan hasil pengembangan teknologi di industri tembakau, sehingga produk ini sudah seharusnya dibuatkan regulasi terpisah.
Apalagi, sejumlah penelitian di dalam dan luar negeri sudah membuktikan bahwa produk ini minim risiko kesehatan dibandingkan dengan rokok.
Advertisement
Ariyo menyatakan, salah satu produk dari produk tembakau yang dipanaskan sudah melalui uji ilmiah selama dua tahun oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (U.S. Food and Drug Administration). Setelah hasilnya menunjukkan sesuai untuk perlindungan kesehatan masyarakat, FDA mengizinkan perangkat itu dijual.
Dengan fakta-fakta yang merujuk pada kajian tersebut, pemerintah harusnya juga melakukan uji ilmiah sehingga tidak ragu untuk membuat regulasi baru.
“Pemerintah seharusnya terbuka dan mendukung terhadap inovasi yang dihadirkan oleh industri tembakau dalam memberikan manfaat bagi publik, sehingga sudah sepantasnya didukung dengan regulasi. Dengan bukti-bukti ilmiah yang ada, pemerintah justru membuat keputusan yang salah jika masih menganggap produk ini layak dimasukkan ke dalam regulasi yang sama dengan rokok,” tutupnya.
Saat ini, pemerintah baru mengatur produk tembakau alternatif dengan penetapan tarif cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 57 persen. Ketentuan ini diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Beda dengan Rokok Konvensional
Sementara itu, Ahli toksikologi dari Universitas Airlangga, Sho'im Hidayat, menjelaskan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, memang menggunakan bahan baku dari tembakau seperti rokok.
Namun, produk tersebut tidak membakar tembakau, tapi memanaskan pada suhu maksimum 350 derajat celcius dengan menggunakan perangkat elektronik khusus, sehingga tidak menghasilkan TAR dan memiliki zat kimia berbahaya yang lebih rendah daripada rokok.
“Karena tidak mengandung TAR, ya, regulasinya sebaiknya dibedakan dengan rokok. Jadi, tentu regulasinya harus dibedakan karena tidak ada TAR lagi, yang ada hanya nikotin,” kata Sho’im ketika dihubungi wartawan.
TAR merupakan zat kimia berbahaya yang dihasilkan dari proses pembakaran. Berdasarkan data National Cancer Institute Amerika Serikat, TAR mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat memicu kanker. Hampir dari 7.000 bahan kimia yang ada di dalam rokok, 2.000 diantaranya terdapat pada TAR.
Dengan tidak adanya TAR, Sho’im melanjutkan, produk tembakau yang dipanaskan bukan berarti bebas risiko. “Risiko itu kan peluang terjadinya hal yang negatif, dalam hal rokok ya penyakit. Nah, kalau produk tembakau yang dipanaskan itu meski tidak bebas risikonya sepenuhnya, tapi risikonya jauh lebih rendah daripada rokok,” katanya.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada 2018 lalu. Hasil riset itu menyatakan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen daripada rokok.
Hasil peneltian dari UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, juga menunjukkan kesimpulan yang positif bagi produk tembakau yang dipanaskan. COT menyimpulkan bahwa produk tersebut mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50 hingga 90 persen dibandingkan dengan asap rokok.
Advertisement