Pekerja Tolak Indonesia Diberi Label Negara Maju oleh AS

Status baru ini dinilai justru akan menyulitkan Indonesia di sektor perdagangan internasional.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 26 Feb 2020, 19:15 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2020, 19:15 WIB
Tolak Omnibus Law, Buruh Datangi Gedung DPR
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1/2020). Massa menyuarakan penolakan mereka terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.con/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) baru saja mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju.

Namun begitu, Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menolak label baru Indonesia sebagai negara maju. Sebab, secara Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2019 lalu belum mencapai kisaran USD 4.000 per kapita per tahun.

"Kalau menurut saya dari income per kapita kita masih belum USD 4.000. Kalau memang Omnibus Law katanya akan mencapai USD 6.100-12.000. Tapi kan dengan konteks income per kapita kita yang masih segitu itu memang belum pantas lah kita disebut sebagai negara maju," kata Sekjen OPSI Timboel Siregar kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Timboel juga mengatakan, status baru tersebut nantinya justru akan menyulitkan Indonesia di sektor perdagangan internasional. Dia khawatir Indonesia sebagai negara maju tak bisa beradaptasi jika bea ekspor dinaikan, seeta pemberian potongan bea masuk impor (General System of Preference/GSP) dicabut.

"Jadi ada persoalan bagaimana pendefinisian baru tentang Indonesia, saya khawatir ekspor kita menurun. Artinya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kan salah satunya ekspor. GSP juga mau dicabut dan sebagainya," tuturnya.

"Kemudian bagaimana juga terkait dengan konteks perdagangan kita. Utang masih tinggi, saya pikir ini agak sedikit sulit malah mendefinisikan kita negara maju. Mungkin bisa jadi tantangan kita untuk maju terus, pemicu bagus. Tapi justru kita agak sulit," tambahnya.

Selain itu, Timboel juga menilai bahwa pencabutan label negara maju oleh Amerika Serikat merupakan upaya politik dagang yang coba diluncurkan Presiden AS Donald Trump.

"Saya enggak begitu percaya sama Trump. Tapi kalau IMF, World Bank, dan sebagainya sudah mengatakan itu, mungkin. Tapi masalahnya mereka juga belum ngomong. Kalau Trump itu kan hanya sekedar politik perdagangan aja," cibirnya.

"Jangan terlena lah. Menteri Luar Negeri aja kan tepuk tangan tuh. Harus dilihat gitu dampak dari status ini," dia menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Indonesia Masih Butuh Dukungan AS Meski Sudah Jadi Negara Maju

Suharso Monoarfa
Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan Indonesia masih butuh bantuan ekonomi dari negara maju seperti AS meski AS sendiri mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang.

"Kita tetap memerlukan dukungan internasional, terutama investasi langsung sangat kita butuhkan," ujarnya di Kompleks Bappenas, Jakarta, Senin (24/2/2020).

Ia kemudian membeberkan alasan dipilihnya bantuan investasi langsung. Karena mulai berkurangnya dana pembiayaan hang berasal dari dalam negeri.

"Karena pendanaan pembiayaan dalam negeri sudah terbatas, jadi mau tidak mau kita harapkan bentuk investasi langsung," terangnya.

Selain investasi langsung, Indonesia juga masih berharap bantuan lain dari negara maju. Seperti pemberian fasilitas murah jangka panjang dan kerjasama ekonomi lainnya.

Saat disinggung pendapatnya terkait predikat baru Indonesia sebagai negara maju. Dia meyakini sudah ada perhitungan khusus, yang menitik beratkan kondisi ekonomi nasional.

"Itu kan negara donor memberikan kategorisasi, cara memberikan fasilitas untuk negara ekonomi, kelasnya dimana (kategori)," pungkasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com 

Keluar dari Daftar Negara Berkembang, Indonesia Sudah Layak Jadi Negara Maju?

Ilustrasi bendera Indonesia
Ilustrasi bendera Indonesia (Sumber: Pixabay)

Amerika Serikat (AS) menghapus Indonesia dari daftar negara berkembang, bersama beberapa negara lain seperti China, India dan Afrika Selatan.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai keputusan AS ini lebih bersifat politis. Serta berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif atau buruk ke depannya bagi Indonesia.

“Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata dia seperti mengutip Antara, Senin (24/2/2020).

Fithra mengatakan ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju. Mulai dari sektor industri yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen.

“Kalau dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas,” kata dia.

Ia menyebutkan meskipun saat ini industri di negara-negara maju kontribusinya terhadap GDP turun, namun negara tersebut telah melewati tahapan sebagai negara industri sehingga dapat dikategorikan sebagai negara maju.

“Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri,” katanya.

Berikutnya, ketentuan yang dapat mengkategorikan sebuah negara menjadi maju adalah melalui pendapatan per kapita yang harus di atas USD 12 ribu per tahun. Sedangkan Indonesia baru sekitar USD 4.000 AS per tahun.

“Hal yang bisa kita lihat lainnya adalah income per kapita yang kalau negara maju itu adalah di atas USD 12 ribu per tahun di mana kita di bawah USD 4 ribu per tahun,” ujarnya.

Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.

“Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” katanya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya