Liputan6.com, Jakarta - Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 mendatang tidak tepat dilakukan saat pemerintah mengumumkan daya beli masyarakat rendah akibat pandemi Virus Corona.
Hal ini juga didukung oleh prediksi Bank Indonesia (BI) mengenai tingkat inflasi pada Mei 2020 hanya 0,09 persen secara bulanan (mtm).
Inflasi tersebut merupakan yang terendah selama lima tahun terakhir jika benar-benar terjadi. Padahal inflasi Mei sudah didukung oleh momentum Ramadan dimana normalnya inflasi cenderung lebih tinggi.
Advertisement
"Tidak tepat waktunya kalau kenaikan di 1 Juli ini, di kuartal I pertumbuhan ekonomi 2,97 persen lalu konsumsi rumah tangga pertumbuhan agregat cuma 2,84 persen," ujar Timboel melalui Diskusi Daring, Jumat (29/5).
Baca Juga
Timboel melanjutkan, kondisi daya beli masyarakat saat ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan pada saar Mahkamah Agung (MA) membacakan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada Februari lalu. Salah satu pertimbangan MA saat itu adalah daya beli masyarakat.
"Kenapa dinaikkan sekarang? Kenapa tidak setelah stabil sedikit ekonomi sesudah ada relaksasi PSBB sehingga geliat ekonomi munucl lagi dan pekerja informal yang mayoritas menduduki peserta mandiri bisa usaha lagi," papar Timboel.
Timboel tidak menampik jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, bukan berarti kenaikan iuran ini menjadi solusi bagi pemerintah untuk mengatasi defisit pada tubuh BPJS Kesehatan yang sudah terjadi bertahun-tahun dan terus membengkak.
"Apakah kenaikan iuran otomatis akan turunkan defisit? Belum tentu. Kalau pengendalian biaya tidak dilakukan. Ini persoalan yang terus terjadi sehingga harus dipikirkan pemerintah," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Tak Mampu Bayar Iuran, Peserta BPJS Kesehatan Bisa Turun Kelas
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempersilahkan peserta BPJS Kesehatan turun kelas apabila tidak sanggup membayar iuran di tengah pandemi Virus Corona. Apalagi pada Juni mendatang akan berlaku iuran baru bagi peserta kelas I dan II.
"Siapapun yang merasa keberatan membayar iuran kelas I dan II karena pendapatan menurun akibat pandemi, dapat turun ke kelas III dan mendapat subsidi dari pemerintah," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam diskusi online di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Febrio mengatakan, iuran baru akan segera berlaku pada 1 Juni 2020. Dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020, iuran untuk kelas I peserta mandiri atau PBPU dan BP menjadi Rp 150.000 per orang per bulan atau naik 85,18 persen, kelas II menjadi Rp 100.000 per orang per bulan atau naik 96,07 persen, sedangkan kelas III menjadi Rp 42.000 per orang per bulan atau naik 64,70 persen.
Khusus untuk peserta BPJS Kesehatan kelas III iuran yang dibayarkan hanya Rp 25.500 per orang per bulan atau mendapat subsidi Rp 16.500 sepanjang tahun 2020. Sedangkan di tahun berikutnya peserta kelas III hanya bayar Rp 35.000 per orang per bulan atau tetap mendapat subsidi Rp 7.000.
"Penyesuaian iuran hanya untuk kelas I dan II yang merupakan segmen golongan menengah ke atas dan berlaku mulai 1 Juni 2020. Segmen yang lain tidak mengalami peruabahan," kata Febrio.
Advertisement
Desain Baru
Lebih lanjut Febrio menuturkan, alasan pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 untuk memperbaiki efektivitas program Jaminan Kesehatan Sosial (JKN) yang mencakup pendanaan dan kesinambungan program. Selain itu juga perlu desain baru iuran sebab iuran BPJS Kesehatan tidak naik sejak 2016.
"Hal penting yang diatur dalam Perpres 64 tahun 2020 adalah perbaikan segmentasi peserta dan penyesuaian besaran iuran. Lalu penduduk yang didaftarkan pemda selama ini dikenai PBI. Lalu kebijakan mengaktifkan kepesertaan dari peserta yang menunggak dan kebijakan pengelolaan sistem layanan JKN," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com