Tekanan Garuda Indonesia, Utang Bertumpuk di Tengah Penurunan Pendapatan

Kinerja Garuda Indonesia tengah mengalami kondisi payah akibat okupansi yang rendah.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jul 2020, 15:56 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2020, 15:55 WIB
Pesawat Garuda Indonesia
(Liputan6.com/Fahrizal Lubis)

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk tengah mengalami masalah yang serius. Di saat tingkat keterisian pesawat yang sangat rendah, perseroan harus berhadapan dengan kewajiban membayar utang yang tidak sedikit. 

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, saat ini kinerja perusahaan tengah mengalami kondisi payah akibat okupansi yang rendah. Per 1 Juli 2020, tercatat total saldo utang usaha serta pinjaman bank oleh maskapai sebanyak USD 2,2 miliar atau setara Rp 32,1 triliun (asumsi Rp 14.596 per USD).

Rinciannya, terdiri dari utang operasional Garuda Indonesia mencapai USD 905 juta, pinjaman jangka pendek USD 668 juta, dan pinjaman jangka panjang USD 645 juta.

"Nah, dari USD 645 juta tadi mencakup pinjaman sukuk senilai USD 500 juta. Di mana sudah kita berhasil negosiasi. Sehingga jadi extend di Juni 2023 itu," jelasnya saat menggelar rapat kerja bersama Komisi VI DPR-RI di Komplek Parlemen, Selasa (14/7).

Meski begitu, pihaknya mengklaim maskapai telah menyiapkan tiga upaya mitigasi risiko. Yakni, reschedule pembayaran, restrukturisasi, hingga refinancing dengan instrumen baru.

Garuda Indonesia juga berencana untuk meningkatkan penerimaan perusahaan. Melalui optimalisasi dari penerbangan cargo dan charter.

"Kita terus maksimalkan pendapatan kargo dan charter. hari ini kita ada 10 flight khusus kargo mengangkut kebutuhan terkait pandemi," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Suntikan Dana

Garuda Indonesia
Ilustrasi maskapai penerbangan Garuda Indonesia saat berhenti di apron Bandara Adi Soemarmo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Irfan menambahkan utang ditempuh imbas terkoreksinya arus kas atau cash flow maskapai pelat merah ini. Di mana, cash flow garuda hanya USD 14,5 juta, sehingga perlu suntikan dana untuk tetap mengudara.

"Saat ini untuk nilai pinjaman bank mencapai USD 1,3 miliar setara Rp 18,2 triliun. Untuk utang usaha USD 905 juta, seperti yang tercatat," ujarnya.

Irfan mengatakan adanya gap antara pendapatan dan pembiayaan mengharuskan penundaan pembayaran atas operasional dan penjadwalan yang jatuh tempo. Imbasnya terjadi lonjakan jumlah utang usaha serta pinjaman bank.

Reporter : Sulaeman

Sumber : Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya