BPOM: Jangan Mudah Terkecoh dengan Klaim Obat Herbal Anti Corona

Obat herbal yang hendak dijual apalagi untuk kepentingan covid-19 harus mengikuti alur penelitian bahan baku menuju produk dengan data dukung ilmiah.

oleh Tira Santia diperbarui 10 Agu 2020, 11:45 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2020, 11:45 WIB
LIPI Teliti Obat Herbal Penyembuh Covid-19
Peneliti menunjukkan daun rhino ketepeng yang dicacah untuk riset daun rhino ketepeng dan daun benalu sebagai obat herbal COVID-19 di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong, 6 Mei 2020. Peneliti LIPI mengembangkan penelitian dua tanaman herbal sebagai obat herbal pasien COVID-19. (Xinhua/Veri Sanovri)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan agar masyarakat tidak mudah tergoda dan terkecoh untuk membeli produk obat herbal sembarangan. APalagi jika produk herbal tersebut tidak mengantongi izin BPOM.

Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini mengatakan, obat herbal bisa diklaim mengobati suatu penyakit harus ada aturannya, apalagi ditujukan untuk klaim anti Corona atau penyembuhan Corona.

“Pasien itu manusia yang harus diperhatikan haknya Ketika dilakukan uji klinis pada mereka, makanya ada protokol yang harus diperhatikan pada subjek peneliti, itu baru akan dapat klaim,”kata Maya dalam konferensi pers Maraknya klaim obat covid-19, Senin (10/8/2020).

Maya menjelaskan, ada tiga tahap pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

“Jamu adalah suatu produk dengan ramuan empiris yang turun temurun dari nenek moyang kita, seperti beras kencur, temulawak dan lainnya, dan klaimnya empiris kita melihat dari beberapa Pustaka, tidak perlu uji klinis karena kita sudah tahu,” ujarnya.

Lalu, ada obat herbal terstandar, berasal dari jamu namun bedanya yakni bahan bakunya terstandar dan konsisten, keamanan dan khasiat dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik kepada hewan seperti tikus atau kelinci, tergantung kebutuhan yang tujuannya untuk meyakinkan bahwa produk ini aman.

Setelah itu tahapannya naik menjadi fitofarmaka yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji klinik kepada manusia.

“Fitomarmaka sudah diujikan klinis dengan manusia, artinya tingkatnya jelas sama dengan obat tingkat konvensional. Karena tahapannya tidak semudah jamu,”ujarnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Harus Uji Klinis

LIPI Teliti Obat Herbal Penyembuh Covid-19
Peneliti menunjukkan bahan mentah daun rhino ketepeng dan daun benalu yang diteliti sebagai obat herbal COVID-19 di Pusat Penelitian Kimia LIPI di Serpong, Banten, 6 Mei 2020. Peneliti LIPI mengembangkan penelitian dua tanaman herbal sebagai obat herbal untuk pasien COVID-19. (Xinhua/Veri Sanovri)

Bila dikaitkan dengan produk jamu untuk mengobati covid-19, sebenarnya kata Maya produk jamu sudah ditemukan sebelum covid-19. Jika jamu diklaim bisa menyembuhkan atau mengobati covid-19, maka produk jamu itu harus melewati tahapan uji praklinik hingga uji klinik.

“Jadi kalau ada klaim jamu membunuh virus covid-19, itu belum ada dan belum dilakukan (belum ada izinnya) oleh BPOM,” Ujarnya.

Karena suatu produk obat herbal yang hendak dijual kepada masyarakat luas apalagi untuk kepentingan covid-19, harus mengikuti alur penelitian bahan baku menuju produk dengan data dukung ilmiah.

“Masyarakat harus hati-hati saya lihat masyarakat ini walaupun edukatif begitu ada promosi yang besar-besaran mereka juga tergiur untuk membeli,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya