Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 17 persen tidak memiliki argumentasi yang kuat karena melanggar formula kenaikan harga komoditas.
Formula yang dimaksud adalah rumus kenaikan harga komoditas yakni menambahkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ketidaksesuaian terjadi karena rencana kenaikan tarif CHT muncul di tengah deflasi dan negatifnya pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
“Secara formulasi dan reasoning itu tidak ada argumentasi untuk dinaikkan cukainya,” kata Enny saat dihubungi wartawan di Jakarta (22/10/2020).
Advertisement
Secara historis, biasanya kenaikan tarif cukai memang terjadi tiap tahun. Namun, kenaikan tersebut terjadi saat situasi ekonomi normal. Sementara, saat ini pandemi COVID-19 menurunkan daya beli dan pendapatan masyarakat sekaligus.
Seperti diketahui sebelumnya, beredar kabar di media massa bahwa cukai rokok akan naik dengan rentang 17-19 persen. Sejumlah kalangan seperti asosiasi di industri rokok menolak rencana kenaikan tersebut.
Enny menilai, rencana kenaikan tarif cukai tahun ini akan berimplikasi besar pada kerugian banyak pihak, baik konsumen, petani, industri, dan negara secara ekonomi maupun kesehatan. Pemerintah justru akan kehilangan aspek kemanfaatan dari kenaikan cukai itu sendiri.
Pertama, konsekuensi nyata dari kenaikan tarif cukai adalah potensi gempuran rokok ilegal. Menurutnya, kenaikan tarif CHT secara tidak langsung memberikan ruang bagi rokok ilegal. Karena pemerintah berencana menaikkan tarif CHT di tengah kondisi daya beli masyarakat yang lemah.
“Insentif untuk rokok ilegal jadi tinggi, karena biaya rokok itu 78 persen untuk regulasi, masuknya ke penerimaan negara. Rokok ilegal kan nggak bayar itu, maka akan sangat murah sekali harganya. Sesederhana itu,” tambah Enny.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Kedua, kenaikan cukai akan mengganggu keberlangsungan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Dalam hal ini, bukan hanya industri rokok yang dirugikan, tetapi dari hulu ke hilir, mulai dari petani tembakau sampai konsumen akhir.
“Yang jelas, kalau cukainya naik, harga tembakau petani akan makin ditekan, petani kita nggak punya bargaining power,” tuturnya.
Ketiga, efektivitas cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi rokok juga tidak akan optimal. Hal itu dikarenakan cukai yang tinggi membuka peluang untuk masuknya rokok ilegal, artinya, konsumsi tetap tinggi sementara potensi penerimaan negara hilang.
“Saya setuju pengendalian tembakau harus ada, tapi kenaikan cukai itu bukan satu-satunya instrumen,” tambahnya.
Lebih lanjut Enny juga menegaskan bahwa segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap harus dilindungi. Tidak hanya karena SKT menyerap banyak tenaga kerja, namun juga karena permintaan pasar juga mulai bergeser ke Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
“Sehingga, kalau SKM dan SPM dinaikkan dan SKT nggak, itu ada bagusnya juga untuk mencegah migrasi semua ke mesin.”
Terahir, Enny berpesan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan tarif CHT dari berbagai perspektif. Seperti kondisi perekonomian, keberlangsungan industri, penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan petani.
Advertisement