Ternyata, Ini yang Bikin Harga Kedelai Meroket hingga Cetak Rekor Tertinggi

Kenaikan harga kedelai impor dipengaruhi sejumlah faktor global, terutama supply dan demand.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jan 2021, 14:15 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2021, 14:15 WIB
Butiran kacang kedelai impor Amerika menjadi salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan pengrajin tempe di Garut, Jawa Barat.
Butiran kacang kedelai impor Amerika menjadi salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan pengrajin tempe di Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Jakarta - Pasokan kedelai nasional diperkirakan aman untuk memenuhi kebutuhan kedelai rata-rata 2,5-2,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 90 persen dipenuhi oleh kedelai impor dan 10 persen kedelai lokal.

Sedangkan konsumen tempe dan tahu terbesar di Tanah Air berada di Pulau Jawa 85 persen dan 15 persen tersebar di Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

"Rata-rata importir menyediakan stok 1-2 bulan, jadi aman hingga Februari 2021. Bagaimana setelah itu? Saya perkirakan masih terjaga karena tahun 2021 kondisinya lebih baik dari 2020. Tren data pengapalan kedelai di pelabuhan terus meningkat sejak September hingga Desember 2020 dari 730 ribu ton menjadi 760 ribu ton," ujar Indonesia Country Director Consultant to U.S. Soybean Export Council Ibnu Eddy Wiyono dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/1/2021)

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto sebelumnya telah menyatakan stok kedelai cukup untuk kebutuhan industri tahu dan tempe nasional. Berdasarkan data Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo), para importir selalu menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450.000 ton.

"Apabila kebutuhan kedelai untuk para anggota Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sebesar 150.000 - 160.000 ton per bulan, maka stok tersebut seharusnya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan 2-3 bulan mendatang," kata Suhanto 31 Desember 2020 lalu.

Penyebab Kenaikan

Kenaikan harga kedelai impor dipengaruhi sejumlah faktor global, terutama supply dan demand. Perlu diketahui, Amerika Serikat (AS), Brazil, dan Argentina adalah produsen kedelai terbesar dunia dengan penguasaan pasar 90 persen.

"Selain itu, harga komoditas kedelai di Bursa Berjangka Chicago juga naik. Begitu halnya biaya logistik atau angkutan kapalnya juga naik. Hal ini bisa dipahami karena selama pandemi, kapal-kapal Tiongkok tidak bisa berangkat (pulang pergi) ke Amerika karena Lockdown sehingga terjadi delay dan pasokan barang terbatas," ujar Ibnu Eddy Wiyono.

Ada dua penyebab kenaikan harga kedelai di pasar internasional. Pertama, permintaan (demand) kedelai global. Permintaan Tiongkok terhadap kedelai Amerika meningkat tajam karena beberapa hal.

Tiongkok sedang berusaha memenuhi janjinya kepada Presiden Trump untuk membeli kedelai Amerika lebih banyak. Selain itu, Tiongkok membutuhkan banyak kedelai untuk mendukung program peningkatan populasi babi sebanyak130 juta ekor.

Kedua, kondisi pasokan (supply) kedelai global. Saat ini, hanya Amerika yang sedang panen kedelai dan memiliki cadangan yang cukup untuk diekspor. Musim panas yang terlalu kering dan bencana angin topan mengakibatkan produksi kedelai Amerika lebih rendah dari yang diprediksikan. Di sisi lain, persediaan kedelai di Brazil dan Argentina menipis sehingga harus memenuhi kebutuhan domestik.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

China Borong Kedelai AS

Produksi Tempe Kembali Menggeliat
Perajin menunjukkan rendaman biji kedelai yang akan diolahnya menjadi tempe di kawasan Sunter, Jakarta, Senin (4/1/2021). Perajin tempe setempat berupaya mengurangi kerugian akibat melonjaknya harga kedelai impor dengan memperkecil ukuran tempe dan menaikan harga jual. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Suhanto mengatakan faktor utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia akibat lonjakan permintaan kedelai dari Tiongkok kepada AS selaku eksportir kedelai terbesar dunia.

Pada Desember 2020, permintaan kedelai Tiongkok naik 2 kali lipat dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kontainer di beberapa pelabuhan AS, seperti di Los Angeles, Long Beach, dan Savannah sehingga terjadi hambatan pasokan terhadap negara importir kedelai lain termasuk Indonesia.

"Untuk itu perlu dilakukan antisipasi pasokan kedelai oleh para importir karena stok saat ini tidak dapat segera ditambah, mengingat kondisi harga dunia dan pengapalan terbatas. Penyesuaian harga dimaksud secara psikologis diperkirakan akan berdampak pada harga di tingkat importir pada Desember 2020 sampai beberapa bulan mendatang," jelas Suhanto.

Sebagai gambaran, sejak November 2013 hingga Februari 2020 harga Rp7.500/kg. Itu berarti selama 7 tahun harganya stabil. Gonjang ganjing baru terjadi saat pandemi Covid-19 Maret 2020 ketika Tiongkok memborong kedelai Amerika dan terjadi gangguan pengiriman kapal karena Lockdown atau physical distancing.

Akibatnya, stok atau pasokan kedelai di pasaran terbatas. Apalagi harga kedelai di Bursa Chicago biasanya USD 9/gantang menjadi USD13 per gantang (1 ton = 36 gantang). Dampaknya, harga kedelai di Indonesia pun merangsek dari Rp8.000-an/kg ke angka Rp9.000-an/kg sekarang.

Selain itu, perkembangan harga kedelai di Indonesia selama November 2019 - Juli 2020, lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS relatif stabil, bahkan menguat sejak awal Agustus 2020. Sayangnya, harga kedelai di pasar global meningkat tajam sejak Agustus 2020 yang berdampak pada kenaikan harga kedelai di Indonesia.

Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Sutaryo, mengatakan pemerintah telah melakukan operasi pasar di Sentra Semanan Jakarta pada Kamis (7 Januari 2021) sementara operasi di wilayah Jakarta Selatan telah dilakukan sejak Selasa (5 Januari 2021).

Sutaryo menuturkan kejadian ini bukan pertama kali. Tahun 2008 terjadi gejolak harga kedelai impor dari Rp3.300 ke Rp6.000 sehingga tukang tempe tidak produksi. Harga naik lagi tahun 2013. Kini, pada 2020 terjadi kembali. Masalahnya sama, soal tidak adanya ketahanan pangan. Di sisi lain, pasar dunia mementingkan stok barang, supply & demand.

"Amerika senang kedelainya diborong oleh China. Kebutuhan kedelai China sekitar 90 juta ton per tahun, sedangkan Indonesia 2,6 juta ton setahun,” jelas Sutaryo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya