Vaksinasi Berbayar Kimia Farma Bikin Buruh Cemas, Kenapa?

Kimia Farma menyiapkan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk Vaksinasi Gotong Royong secara individu atau perorangan sebagai layanan vaksinasi berbayar.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jul 2021, 11:30 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2021, 11:30 WIB
Serikat Pekerja Minta Buruh Menahan Diri soal Revisi UU Ketenagakerjaan
Presiden KSPI Said Iqbal (kiri) dan Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea saat konferensi pers, Jakarta, Rabu (25/9/2019). Kendati menilai revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan merugikan buruh, serikat pekerja meminta buruh menahan diri dan mengedepankan keutuhan NKRI. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kimia Farma melalui cucu usahanya, PT Kimia Farma Diagnostika (KFD) menyiapkan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk Vaksinasi Gotong Royong secara individu atau perorangan sebagai layanan vaksinasi berbayar.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut ada tiga kekhawatiran terkait diadakannya vaksin gotong royong individu atau vaksin berbayar. Salah satunya dikhawatirkan akan menyebabkan komersialisasi.

"Terkait dengan hal itu, ada beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI bahwa vaksin gotong royong atau vaksin berbayar akan menyebabkan komersialisasi," kata Said di Jakarta, Senin (12/7/2021).

Kekhawatiran itu diantaranya, pertama, berkaca dari program rapid tes untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus Covid-19 (baik rapid test sereologi, antigen, dan PCR), mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar.

Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid tes, tetapi belakangan rapid tes terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, adanya kewajiban rapid tes sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid tes.

“Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri)" ujarnya.

Dia menegaskan, itulah yang disebut komersialiasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksi gotong royong dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh.

"Dan dengan vaksin berbayar individu berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinasi tidak lagi dibiayai pemerintah ,” imbuhnya.

Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara berbeda. Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia atau dengan kata lain hanya 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong rotong tersebut.

Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.

“Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jumlah Buruh

Ratusan Buruh Long March 3 Hari 3 Malam
KSPI menganggap Prabowo dan Hatta sebagai pasangan yang tepat untuk memimpin bangsa ini, karena keduanya pun dikenal tegas, berani, dan jujur pada rakyat, Jakarta, Jumat (13/6/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo).

Menurutnya, jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang.

Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta orang.

Said mempertanyakan apakah seluruh perusahaan mampu membayar 200-an juta orang (setidak-tidaknya 130-an juta buruh) untuk mengikuti vaksin gotong royong. Jika harga vaksin gotong royong Rp 800-qan ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai Rp 104 triliun. Begitu pula secara individu, tidak semua warga negara mempunyai kemampuan bayar secara mandiri.

“Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” katanya.

Kekhawatiran ketiga yakni, di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan resesi ekonomi yang saat ini masih mengancam pertumbuhan ekonomi masih negatif.

"Raaanya tidak mungkin memberikan tambahan beban biaya kepada perusahaan untuk menyelenggarakan vaksinasi gotong royong tersebut. Pasti biaya vaksin gotong rotong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti justru akan menekan kesejahteraan buruh. Apalagi kalau setiap warga negara membayar vaksin secara pribadi," pungkasnya.

Infografis Sudah Vaksinasi Covid-19? Jangan Kendor 5M!

Infografis Sudah Vaksinasi Covid-19? Jangan Kendor 5M!
Infografis Sudah Vaksinasi Covid-19? Jangan Kendor 5M! (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya