Pemerintah Diminta Cari Jalan Tengah Soal Revisi Permen PLTS Atap

Penggunaan PLTS Atap dinilai mahal namun pemakaian sedikit.

oleh Tira Santia diperbarui 19 Agu 2021, 22:55 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2021, 22:55 WIB
Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi melakukan perawatan panel PLTS di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap tengah digodok.

Terkait ini, pemerintah dinilai perlu mencari jalan tengah sebagai alternatif agar APBN dan PLN tidak terbebani.

Ini diungkapkan Mukhtasor, Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014 pada webinar “Curah Pendapat” bertema Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia, Kamis (19/8/2021).

Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah perihal PLTS atap ini.

“Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa,” ujar dia.

Dikabarkan jika revisi Permen PLTS Atap mengubah rasio ekspor-impor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen. Dia mengumpakan kondisi ini seperti barang ditukar barang.

Padahal pasokan listrik jika dititipkan di mana masuk ke jaringan PLN pada siang dan baru digunakan di malam hari, sejatinya harus bayar karena telah ke jaringan. Apalagi dikatakan PLN sebagai BUMN memiliki misi mendapatkan keuntungan. 

“Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tarif maka harga akan naik dan ada risiko over supply,” jelasnya.

Mukhtasor mengingatkan jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar melalui APBN tentu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT.

Negara melalui pemerintah, menurut Mukhtasor, mengambil peran penting dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri.

“Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. solusinya komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business,” ungkap dia.

Demikian pula dia menilai jika pemerintah memutuskan memberikan kompensasi atau insentif, sebaiknya diberikan ke hulu ketimbang hilir. Caranya dengan menurunkan biaya modal.

Menurut bila hulu industri pemasok PLTS mendapatkan kompensasi, dan menyebabkan biaya pasang PLTS Atap  lebih murah maka PLN tidak akan terganggu.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Chrisnawan Aditya, mengatakan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang.

Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain.

Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS Atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65 persen ke 100 persen. “PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya,” kata dia.

Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20 persen lalu dikalikan 100 persen. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan pasokan yang ada sendiri, setela itu sisanya diekspor.

“Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun,” kata dia.

 

Kelebihan Pasokan

Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi mengecek panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip mengatakan langkah pengembangan EBT seperti apalagi PLTS Atap harus dengan memperhitungkan kondisi kelebihan pasokan listrik di Jawa dan Bali.

“Jangan sampai pengembangan massif PLTS A malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen,” ungkap dia.

Menurut Sunarsip, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.

Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain.

Anggota DEN, Satya W Yudha mengatakan revisi Permen ESDM soal PLTS Atap bertujuan mengurangi penggunaan listrik.

Dalam konteks penurunan emisi karbon, lanjut dia, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan energi yang masih campuran tadi berkurang.

Menurut Satya, pengembangan PLTS Atap demi memajukan industri. Dia menyebutkan ada beberapa hal yang menyangkut PLN bahwa tugas kenegaraan dipisahkan dari tugas industri murni. Sekarang PLN pun sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidak mudah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya