Pemerintah Disarankan Perkuat Industri Solar Cell Ketimbang Revisi Aturan PLTS Atap

Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional di pasaran makin kompetitif, dan pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Agu 2021, 17:18 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2021, 17:18 WIB
Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi mengecek panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (6/8/2019). PLTS atap ini bertujuan menghemat pemakaian listrik konvensional sekaligus menjadi energi cadangan saat listrik padam. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah disarankan untuk memperkuat industri nasional produsen solar cell ketimbang merevisi aturan PLTS atap. Saat ini, revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (permen) No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap sudah dikirimkan ke Presiden.

Saran ini disampaikan Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mukhtasor. Dia menilai sebaiknya uang yang semula dipakai menutup kompensasi biaya penyimpanan listrik dari PLTS atap diubah menjadi insentif kepada industri nasional rantai pasok PLTS, utamanya produsen solar cell. Insentif berupa fiskal seperti pajak dan insentif non fiskal lainnya.

Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional di pasaran makin kompetitif, dan pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah. Keekonomian PLTS Atap juga akan meningkat baik. Minat dan dukungan pada PLTS Atap akan meningkat.

Menurut Mukhtasor, semua diuntungkan dengan strategi tersebut, kecuali importir partikelir yang harusnya bisa diarahkan oleh Pemerintah agar melibatkan diri berbisnis membangun industri nasional.

"Inilah program gotong royong nasional yang sesungguhnya. Ada mitigasi risiko kenaikan tarif listrik bagi masyarakat luas, PLN tetap menerima kompensasi biaya penyimpanan setrum seperti praktek bisnis yang sehat, dan ada industri baru produsen solar cell yang pada waktu tertentu nanti sudah bisa membayar pajak," jelas dia.

Strategi memperkuat industri nasional solar cell dalam negeri ini disebut sesuai dengan PP No. 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Maret 2015.

Dalam PP tersebut, Pemerintah menetapkan tiga tahap pembangunan industri 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2035.

Diantara enam jenis industri andalan dalam Pembangunan Industri Nasional, industri pembangkit energi adalah salah satunya.

Menariknya, solar cell adalah primadona dalam perencanaan industri andalan tersebut, karena solar cell tetap diutamakan pada seluruh tahapan rencana pembangun industri 2015-2035 tersebut.

Menurut dia, dengan strategi memperkuat industri rantai pasok solar cell, pengguna PLTS Atap bisa tetap diuntungkan dengan tersedianya produk PLTS dalam negeri yang memenuhi standar dengan harga yang lebih murah.

"Hal ini dimungkinkan karena dukungan pemerintah dan realokasi dana APBN menjadi insentif, serta dukungan fiskal dan non fiskal," jelasnya.

 

 

Soroti Perubahan Skema

Pemanfaatan Tenaga Surya Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif
Teknisi melakukan perawatan panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (6/8/2019). PLTS atap yang dibangun sejak 8 bulan lalu ini mampu menampung daya hingga 20.000 watt. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Rencana revisi Permen ESDM No. 49/2018 menuai perhatian. Salah satunya terkait perubahan skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1.

Mukhtasor, menyoroti perihal potensi hilangnya APBN seiring keberadaan PLTS atap. Dia menilai Permen PLTS atap lebih rasional dan adil sebelum ada revisi. 

Setrum yang diproduksi PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan pemasang PLTS atap pada malam hari dengan dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik.

Kompensasi ini merefleksikan biaya demi mengatasi berbagai masalah. Seperti listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya menyalakan pembangkit untuk siaga mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS karena cuaca dan sebagainya. Skema ini diistilahkan 1:0,65.

"Draft Revisi Permen ESDM mengabaikan biaya-biaya tersebut, dimana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. Istilahnya skema 1:1. Dengan demikian, kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh PLN. Ketika beban keuangan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN, karena kerugian PLN akan menjadi tanggungan pengeluaran APBN," jelas dia.

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya