Liputan6.com, Jakarta Sejak Paris Climate Agreement di 2015, banyak negara mulai berlomba-lomba untuk mengambil berbagai komitmen global dan inisiatif berupa regulasi yang ditujukan untuk mengurangi jejak karbon hingga mencapai net zero emission pada tahun 2050. Termasuk Indonesia, yang mana baru-baru ini menetapkan implementasi pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru disahkan pekan lalu.
Kebijakan tersebut diharapkan akan mendorong peningkatan penerapan Environmental Social Governance (ESG) di dunia industri Indonesia dan membantu mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 mendatang, yakni menurunkan 29 persen emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Untuk mencapai sistem keuangan hijau dan berkelanjutan, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama yang masif di antara berbagai kelompok pemangku kepentingan.
Advertisement
Salah satu upaya yang dicanangkan oleh inisiatif ESG global untuk membangun standar sistem pelaporan yang berkelanjutan ini adalah dibentuknya Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) untuk meningkatkan dan memperkuat pelaporan informasi keuangan yang memperhatikan perubahan iklim.
Hal ini menjadi penting karena untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050, akan dibutuhkan pendanaan yang sangat besar, diperkirakan sekitar USD 2 triliun hingga USD 5 triliun hingga tahun 2030, dan jumlah tersebut akan terus dibutuhkan hingga 2050 demi keberhasilan mencapai target net zero emission tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abhayawansa dari Universitas Swinburne dan Carol Adams dari Glasgow University, ditemukan bahwa bisnis yang menerapkan berbagai kegiatan dan kebijakan terkait ESG, cenderung menerima aliran dana yang lebih tinggi atau lebih besar dibandingkan bisnis yang tidak terlibat sama sekali dengan kegiatan ESG.
"Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa mereka yang memiliki dana yang tidak berfokus pada keberlanjutan, dalam hal ini ESG memiliki kinerja yang lebih buruk dari pada dana yang memperhatikan tata kelola yang baik dan dampak yang lebih rendah terhadap lingkungan. Sebagian besar dana ramah lingkungan tersebut berhasil mencatatkan return saham yang lebih besar. Jadi bisa kita simpulkan bahwa akan selalu ada hubungan positif antara kinerja ESG dengan kinerja di pasar modal." kata Anggota Financial Accounting Standards Board and Comprehensive Corporate Reporting Task Force, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Elvia Shauki dalam webinar bersama ICAEW dikutip di Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Kebutuhan akan informasi yang jelas, komprehensif, dan berkualitas tinggi tentang dampak perubahan iklim pun kian meningkat. Oleh karena itu, akuntan menjadi pemegang peranan penting demi memastikan bisnis dan proyek berjalan secara lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, mengikuti kaidah ESG yang tercermin dalam pelaporan keuangan mereka.
"Sebagai akuntan, kita harus semakin menyadari pentingnya isu keberlanjutan dan lebih penting lagi peran profesi. Green and Sustainable Finance kemudian turut menjadi sebuah topik yang menarik bagi banyak akuntan atau praktisi keuangan dan profesional, terutama mengenai bagaimana cara melihat laporan pertanggungjawaban sebuah bisnis yang menerapkan pilar ESG secara baik," ucap Aucky Pratama, Executive Director AFA.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bagaimana ESG Mempengaruhi Sektor Keuangan di Indonesia?
Implementasi Sustainable Finance dalam ESG pun juga sudah mulai diberlakukan di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah dimulainya pembuatan regulasi oleh OJK guna menerapkan sustainable finance roadmap di tahun 2025. Roadmap OJK ini berfokus kepada keuangan berkelanjutan, serta menetapkan standar untuk penerbitan green bonds.
Hal ini nantinya akan mewajibkan pengajuan rencana aksi keuangan berkelanjutan, atau laporan keberlanjutan oleh penyedia jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik yang beroperasi di Indonesia.
"Ini juga akan mencakup hal-hal seperti pedoman teknis untuk bank, bagaimana mereka perlu menerapkannya, bagaimana mereka memastikan bahwa portofolio mereka berkelanjutan, dan bagaimana mereka dapat membiayai dan menyelaraskan beberapa pelaporan, terutama untuk perusahaan publik," ujar Antonie Jagga, Risk Consulting Leader, PwC South East Asia Consulting.
"Roadmap 2021 hingga 2025 dari OJK ini juga turut melihat bahwa perubahan iklim menjadi salah satu risiko material dan penting untuk diperhatikan di sektor keuangan. Dan dari sisi bank sentral, Bank Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah lebih lanjut guna mendukung ESG tersebut. Beberapa diantaranya adalah menyiapkan roadmap atau rencana aksi keuangan yang berkelanjutan, mengalokasikan investasi pada sekuritas yang sejalan dengan kaidah investasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, juga meringankan komponen pembiayaan uang muka untuk kendaraan listrik yang rendah emisi di Indonesia."
Advertisement