Liputan6.com, Jakarta - Lembaga riset dan analisis data Sigmaphi melihat bahwa kondisi ekonomi di 2022 masih penuh ketidakpastian. Selain karena Covid-19, motif politik menuju 2024 yang semakin panas juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi.
Belum lagi, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sebelumnya menghadirkan optimisme cukup besar dalam mempercepat tumbuhnya investasi menjadi kembali dipertanyakan pasca Mahkamah Konstitusi menyebutnya inkonstitusional bersyarat.
Peneliti politik Sigmaphi Reno Koconegoro menjelaskan, politik luar negeri 2022 mendatang akan berpusat pada relasi ekonomi politik dan pertahanan Tiongkok-Dunia. Mulai dari persoalan Laut Cina Selatan, perang dagang, komitmen terhadap lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokrasi, hingga persoalan asal mula Covid-19.
Advertisement
Selain itu Reno menyebut ada beberapa momen politik yang saling terkait satu sama lain di 2022 yang akan menjadi tantangan dan memiliki konsekuensi tersendiri bagi politik domestik.
"Di antaranya adalah proses politik perbaikan Omnibus Law UU Cipta Kerja, transmisi pemerintah-DPR dalam menormalisasi defisit APBN, beberapa kepala daerah yang habis masa jabatannya, dan manuver dari tokoh politik menuju 2024," jelas dia, Rabu (22/12/2021).
Keterkaitan momen tersebut akan menjadikan politik domestik di Tahun 2022 berjalan secara lebih dinamis dibandingkan dengan Tahun 2021. Sebuah fase bertemunya tahun pemulihan ekonomi dengan tahun konsolidasi politik yang akan menentukan arah konfigurasi ekonomi politik nasional di tahun-tahun berikutnya. Pungkas Reno.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Proyeksi
Mempertimbangkan proyeksi politik tersebut, peneliti senior Sigmaphi Telisa Falianty memproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 3,49 persen hingga akhir 2021 ini dan meningkat menjadi 4,9 persen pada tahun 2022.
Lebih jauh Telisa menjabarkan bahwa pertumbuhan tahun 2022 mendatang ditopang oleh investasi yang akan tumbuh sebesar 5,94 persen, dan konsumsi masyarakat yang tumbuh 4,97 persen, sedangkan ekspor bersih justru tumbuh minus 0,61% seiring dengan normalisasi harga komoditas yang diperkirakan akan terjadi pada pertengahan tahun depan.
Telisa juga menyampaikan bahwa Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi apabila memberikan perhatian lebih besar pada pelaku UMKM. Simulasi yang dilakukan Sigmaphi bahwa dengan mendorong 10 persen saja pelaku UMKM naik kelas, maka ekonomi dapat tumbuh 6,7persen.
"Salah satu strateginya yakni dengan mendorong penyaluran kredit lebih besar kepada sektor UMKM, dan untuk melakukan ini perbankan masih punya ruang yang lebar mengingat saat ini LDR perbankan baru sebesar 79,11 persen sehingga apabila ruang tersebut digunakan untuk meningkatkan kapasitas UMKM kita, maka dampaknya sangat besar, tidak saja terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap penyerapan tenaga kerja. Tutup Telisa.
Advertisement