YLKI: Konsumen Jadi Korban Bongkar Pasang Kebijakan Minyak Goreng

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan sikap pemerintah yang tak konsisten dalam menyikapi persoalan minyak goreng.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 17 Mar 2022, 15:10 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2022, 15:10 WIB
Tahun Depan, Minyak Curah Dilarang Dijual di Pasar
Pedagang tengah menata minyak curah yang dijual di pasar di Kota Tangerang, Banten, Kamis (25/11/2021). Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya lonjakan harga di komoditas minyak goreng. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan sikap pemerintah yang tak konsisten dalam menyikapi persoalan minyak goreng. Ini berdampak pada konsumen dan operator minyak goreng.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyampaikan hal ini patut disayangkan dari sisi kebijakan publik. Bongkar-pasang kebijakan harga minyak goreng ini juga disinyalir merugikan masyarakat.

“Dari sisi kebijakan publik, YLKI sangat menyayangkan terkait bongkar pasang kebijakan migor (Minyak Goreng), kebijakan coba-coba, sehingga konsumen bahkan operator menjadi korbannya,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Kamis (17/3/2022).

Informasi, Kementerian Perdagangan pada Februari lalu menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan premium sebesar Rp 14.000. Namun, yang terbaru Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan kebijakan baru yang diambil.

Yakni, dengan menyerahkan harga minyak goreng kemasan premium ini kepada mekanisme pasar. Alasannya mengikuti tren kenaikan harga internasional, sementara minyak goreng curah yang ditetapkan HET Rp 14.000 dengan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Tulus menyampaikan, kebijakan terbaru terhadap minyak goreng secara umum lebih ramah terhadap pasar. Ia berharap kebijakan baru in bisa menjadi upaya untuk memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng di masyarakat dengan harga terjangkau.

“Sebab selama ini intervensi pemerintah pada pasar migor dengan cara melawan pasar. Dan terbukti gagal total, malah menimbulkan chaos di tengah masyarakat,” terangnya.

Dengan harga yang dilepas ke pasaran ini, Tulus meminta pemerintah untuk memperketat pengawasan terkait minyak goreng sesuai HET atau minyak goreng curah. Ia khawatir konsumen minyak goreng premium akan beralih menggunakan minyak goreng curah.

“Jangan sampai kelompok konsumen migor premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli, apalagi memborong migor non premium yang harganya jauh lebih murah,” kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Subsidi Dilakukan Tertutup

FOTO: Kenaikan Harga Minyak Goreng Penyumbang Utama Inflasi
Pedagang menata minyak goreng di sebuah pasar di Kota Tangerang, Banten, Selasa (9/11/2011). Bank Indonesia mengatakan penyumbang utama inflasi November 2021 sampai minggu pertama bulan ini yaitu komoditas minyak goreng yang naik 0,04 persen mom. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, ia menyampaikan subsidi minyak goreng sebaiknya dilakukan secara tertutup. Ini bisa dilihat sebagaimana penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat bawah dan diharapkan mampu tepat sasaran.

“Sedangkan subsidi terbuka seperti sekarang berpotensi salah sasaran, karena migor murah gampang diborong oleh kelompok masyarakat mampu. Dan masyarakat menengah bawah akibatnya kesulitan mendapatkan migor murah. Pemerintah seharusnya belajar dari subsidi pada gas melon (3 kg),” katanya.

Ia juga mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk terus mendalami dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, Crude Palm Oil, hingga perkebunan kelapa sawit.

“YLKI juga mendesak pemerintah untuk transparan, sebenarnya DMO 20 persen itu mengalir kemana, ke industri migor, atau mengalir ke biodiesel. Sebab DMO 20 persen memang tidak akan cukup kalau disedot ke biodiesel. Dalam kondisi seperti sekarang, CPO untuk kebutuhan pangan lebih mendesak, daripada untuk energi,” tukasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya