Anak Buah Sri Mulyani Yakinkan Indonesia Tidak akan Krisis Ekonomi seperti Sri Lanka dan Pakistan

Berbeda dengan Indonesia, sejak tahun 2019 keuangan Sri Lanka dan Pakistan sudah tidak sehat.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jun 2022, 20:21 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2022, 20:21 WIB
Sri Lanka Naikkan Harga BBM Capai Rekor Tertinggi
Pengemudi mengantre di sepanjang jalan untuk membeli bahan bakar dari stasiun bahan bakar Lanka IOC di Kolombo, Selasa (24/5/2022). Sri Lanka yang kekurangan uang menaikkan harga bahan bakar secara tajam ke rekor tertinggi pada 24 Mei 2022, menyebabkan penderitaan lebih lanjut bagi 22 juta orang di negara itu dalam krisis terburuk sejak kemerdekaan. (Ishara S. KODIKARA / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memastikan Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi pasca pandemi Covid-19 seperti yang terjadi pada 2 negara yakni Sri Lanka dan Pakistan.

Alasannya, sejak sebelum pandemi terjadi, pemerintah sangat disiplin dalam mengelola standar kebijakan fiskal.

Sehingga Indonesia menjadi negara yang berdaya tahan (resilien) dalam menghadapi krisis pandemi dan gejolak global.

"Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter ini sejak lama prudent dan konservatif. Kebijakan fiskal kita disiplin, defisit kita dibawah 3 persen dari PDB dan utang kita dibawah 30 persen dari PDB," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Febrio menjelaskan sejak tahun 2019 keuangan Sri Lanka dan Pakistan sudah tidak sehat. Hal ini tercermin dari utang pemerintah Sri Lanka yang mencapai 87 persen dari PDB sebelum pandemi. Defisit fiskalnya pada tahun 2019 mencapi 9,6 persen dari PDB.

Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Pakistan. Sampai tahun 2019, utang Pemerintah Pakistan mencapai 86 persen dari PDB dan defisit fiskal 9,1 persen dari PDB.

Dari data tersebut, kondisi Indonesia dengan Sri Lanka dan Pakistan jauh berbeda. Menurut Febrio disiplin fiskal menjadi modal utama dalam menghadapi ketidakpastian global.

"Disiplin fiskal Indonesia modal untuk menghadapi ketidakpastian di tahun 2020 dan 2021 dan modal ekonomi kita ke depan," kata dia.

Di sisi lain, tingkat inflasi Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih di bawah 5 persen. Neraca berjalan juga mengalami surplus. Belum lagi Indonesia tengah menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditas. Mulai dari ekspor nikel, batubara, CPO dan yang lainnya.

"Jadi memang enggak fair kalau dibandingkan dengan Sri Lanka dan Pakistan," kata dia mengakhiri.

 

Reporter: Anisyash Alfaqir

Sumber: Merdeka.com

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Sri Lanka Bangkrut, PM : Ekonomi Kita Benar-benar Sudah Runtuh

Potret Kelangkaan Gas untuk Memasak di Sri Lanka-AP 2
Antrean warga yang menunggu untuk mendapatkan minyak tanah di tengah kelangkaan gas untuk memasak di Kolombo, Sri Lanka, Selasa, 17 Mei 2022. Warga beralih menggunakan minyak tanah untuk memasak di tengah kelangkaan gas di mana antrean panjang terlihat dan kerap berubah menjadi aksi protes dadakan karena konsumen mulai frustasi dan khawatir kehabisan stok. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengungkapkan bahwa ekonomi negaranya telah bangkrut.

Sri Langka bangkrut ini terjadi setelah berbulan-bulan berjuang menghadapi kekurangan pasokan  makanan, bahan bakar dan listrik.

Tak hanya kekurangan pasokan, PM Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa Sri Lanka juga menghadapi situasi yang jauh lebih serius, serta memperingatkan "kemungkinan jatuh ke titik terendah."

"Ekonomi kita benar-benar runtuh," kata PM Ranil Wickremesinghe, dikutip dari Associated Press, Kamis (23/6/2022). 

Sri Lanka bangkrut dengah beban utang yang besar, kehilangan pendapatan pariwisata dan efek lain dari pandemi Covid-19, serta melonjaknya biaya komoditas. 

Anjloknya ekonomi menyulitkan negara itu untuk mengimpor bensin, susu, gas untuk memasak hingga kertas toilet.

PM Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena hutang yang besar dari perusahaan minyaknya.

 


Inflasi Tembus 57 Persen

Warga Sri Lanka Dipaksa Antre Panjang Membeli Kebutuhan Pokok yang Langka
Orang-orang menunggu di dekat pompa bensin yang kosong berharap untuk membeli minyak tanah untuk memasak di Kolombo, Sri Lanka, Kamis (26/5/2022). Ada kekurangan banyak barang kebutuhan , mulai dari makanan, gas untuk memasak, obat-obatan dan bahan bakar hingga kertas toilet dan korek api. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Perusahaan energi Sri Lanka, Ceylon Petroleum Corporation memiliki utang senilai USD 700 juta atau setara Rp. 10,3 triliun.

"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ungkap PM Wickremesinghe .

Masyarakat kelas menengah termasuk di antara masyarakat yang terdampak bangkrutnya Sri Lanka, yang diperkirakan mencapai 15 hingga 20 persen dari populasi perkotaan negara itu.

Adapun tingkat inflasi untuk makanan di Sri Lanka yang mencapai 57 persen.

Bantuan penanganan krisis di Sri Lanka telah datang dari India, melalui jalur kredit senilai USD 4 miliar atau setara Rp. 59,2 triliun.

Namun Wickremesinghe melihat bantuan dari India tidak akan membuat Sri Lanka bertahan dalam waktu yang lama.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya