Banyak Startup Berguguran, Pengusaha John Riady Sebut Jadi Momen Startup Berkinerja Baik

John Riady yang juga praktisi modal ventura di bawah Lippo Group memiliki riwayat panjang dalam mengembangkan berbagai startup.

oleh Arief Rahman H diperbarui 28 Jun 2022, 15:44 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2022, 15:44 WIB
Generasi Ketiga Lippo yang juga menjabat sebagai CEO PT Lippo Karawaci Tbk, John Riady. (Istimewa)
Generasi Ketiga Lippo yang juga menjabat sebagai CEO PT Lippo Karawaci Tbk, John Riady. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Banyak perusahaan rintisan atau startup yang mengumumkan kebijakan efisisensi yang berujung pada PHK massal pada pertengahan tahun ini. Ini menjadi tanda adanya langkah lebih rasional dari strategi mayoritas startup yang dikenal royal “bakar duit”.

Sadar atau tidak, para pelaku usaha rintisan banyak yang terjebak pada strategi agresif, baik itu secara pengembangan pasar maupun pengembangan internal.

Terkait bergugurannya usaha-usaha rintisan, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkapkan krisis talenta dan persaingan pasar yang menuju tidak sehat itupun terjadi di tengah memburuknya kondisi perekonomian global.

“Kebutuhan modal yang besar dalam pengembangan usaha rintisan harus berhadapan dengan situasi inflasi yang cenderung tinggi, menyebabkan berbagai pihak menahan dana. Terlebih lagi, saat ini terjadi gesekan dari kebijakan The Fed yang menyedot arus kapital global,” ujar dia, Selasa (28/6/2022).

John yang juga praktisi modal ventura di bawah Lippo Group memiliki riwayat panjang dalam mengembangkan berbagai startup. Sejak 2015, melalui PT Venturra Capital, John Riady melakukan penetrasi ke dalam ekosistem ekonomi digital.

Berbagai usaha rintisan dibidani Venturra Capital, antara lain Ruang Guru, Ovo, Sociola, bahkan unicorn Grab.

“Kini masih ada puluhan yang kami kembangkan,” jelas John. Melihat gejala rontoknya berbagai usaha rintisan, John menilai disebabkan berbagai kesalahan persepsi.

Paling mendasar, lanjutnya, adalah persepsi terkait prospek startup di tengah arus digitalisasi yang semakin meluas.

Persoalannya, pandemi yang telah memicu berbagai terobosan digital nyatanya tidak menolong momentum startup menjadi lebih besar.

“Artinya apa? Di sini, yang akan bertahan tidak sekadar startup, melainkan startup yang siap dengan model bisnis dan prinsip untuk menghadirkan solusi berkesinambungan bagi persoalan masyarakat,” jelas John.

 

2.219 usaha rintisan

Startup
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Indonesia, berdasarkan catatan Startup Ranking merupakan rumah bagi 2.219 usaha rintisan. Masing-masing usaha rintisan bersaing agar diterima pasar melalui berbagai layanan digital.

Tuntutan ini mempunyai dua konsekuensi “strategis”, yakni mengupayakan agar layanan bisa diterima secara luas oleh masyarakat, serta keandalan dan inovasi digital yang berkesinambungan.

“Kutukan” ini selalu menghantui perjalanan usaha rintisan yang selalu meminta mahar besar dari para pemodal ataupun modal ventura.

Sayangnya, persaingan menguasai pasar sekaligus mencari bakat digital itu berhadapan dengan semakin tercekiknya arus modal maupun kelangkaan talent.

Sebagai gambaran, Bank Dunia memperkirakan setiap tahun Indonesia membutuhkan sedikitnya 600 ribu orang yang menguasai teknologi digital. Kelangkaan talenta inipun telah mengerek biaya operasional berbagai perusahaan rintisan.

 

 

 

 

4 Pilar Investasi Lippo

Ilustrasi Startup, Perusahaan Teknologi, Cloud, Komputasi Awan
Ilustrasi Startup, Perusahaan Teknologi, Cloud, Komputasi Awan. Kredit: Freepik

John Riady mengungkapkan ada empat pilar investasi digital yang digarap Lippo seperti seed funding, pendanaan startup pre IPO, kemitraan digital dengan entitas global, hingga kolaborasi digital dengan jaringan bisnis konvensional, telah melahirkan ekosistem yang kuat.

“Kami mendanai berbagai usaha rintisan dari yang sejak awal dilahirkan, startup yang matang dan siap IPO, hingga membangun startup bersama mitra global itu semuanya didorong prinsip yang sama. Prinsip kami, startup ini harus solutif, memecahkan persoalan masyarakat apapun bentuknya, inilah yang akan bertahan,” kata John.

Persepsi salah kaprah lainnya, katanya, adalah eforia digitalisasi yang tak beralasan. Eforia ini memicu tren serba digital lebih baik dibandingkan hal berbau konvensional.

Sebaliknya, jelas John, justru berbagai senjata digital tidak akan efektif bila tidak disokong dengan layanan fisik atau konvensional.

Lihat saja di China, berbagai raksasa bisnis digital sebisa mungkin mengakuisisi berbagai perusahaan konvensional yang memiliki jaringan bisnis secara fisik.

“Ini merupakan strategi kolaborasi, istilahnya omnichannel. Dengan mengawinkan layanan digital dan keunggulan jaringan bisnis secara fisik, akan menopang penguatan kinerja. Apalagi di Indonesia yang sebagian besar aktivitas dan gaya hidup masyarakat masih belum bisa meninggalkan pola konvensional sepenuhnya,” tegas John.

Strategi omnichannel inipun diterapkan di berbagai jaringan bisnis Lippo Group. Salah satu yang kian sukses adalah kerja sama strategis ekosistem GoTo dengan Matahari Putra Prima (MPPA), kemitraan itupun telah memetik hasil positif yang digambarkan dengan pertumbuhan pendapatan. Pada akhirnya, John mengungkapkan di tengah bergugurannya berbagai usaha rintisan, justru ini merupakan momentum seleksi alam bagi ekosistem digital.

“Yang bertahan adalah yang mempunyai kinerja baik serta prospek yang mampu menjangkau kebutuhan pasar,” simpulnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya