Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan survei Bloomberg, Indonesia berada dalam urutan 14 dari 15 negara yang disurvei di Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi. Probabilitas Indonesia masuk jurang resesi hanya 3 persen. Jauh di bawah Sri Lanka yang di angka 85 persen.Â
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melihat, Indonesia sangat kecil untuk bisa mengalami resesi saat ini. Hal ini setelah dia melihat berbagai indikator makro ekonomi, seperti neraca pembayaran dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga
Ketahanan Indonesia menghadapi resesi saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan negara lainnya. Termasuk juga dari sisi korporasi dan rumah tangga.
Advertisement
"Kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas yaitu di atas 70 persen," kata Sri Mulyani di Sofitel Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7/2022).
Meski begitu, dia tak ingin terlena oleh kondisi perekonomian yang lebih baik dari negara lain. Ancaman resesi di tengah ketidakpastian global tetap harus diwaspadai. Apalagi saat ini risiko global mengenai inflasi dan resesi, atau stagflasi ini akan berlangsung sampai tahun depan.
"Ini tidak berarti kita terlena. Kita tetap waspada namun message-nya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita," kata dia.
Hasil survei Bloomberg menyebut ada 15 negara di Asia yang terancam mengalami resesi. Sri Lanka berada di posisi pertama dengan persentase 85 persen, New Zealand 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, China 20 persen, Hong Kong 20 persen.
Selain itu Australia tercatat 20 persen, Taiwan 20 persen, Pakistan 20 persen, Malaysia 13 persen, Vietnam 10 persen, Thailand 10 persen, Philipina 8 persen, Indonesia 3 persen dan India 0 persen.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
IMF: Kemungkinan Resesi Ekonomi Global Tidak Terelakkan
Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan prospek ekonomi global telah "gelap secara signifikan" sejak April 2022 dan dia tidak dapat mengesampingkan kemungkinan resesi global tahun depan mengingat risiko yang meningkat.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (7/7/2022) Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa IMF akan menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global 3,6 persen dalam beberapa pekan mendatang.
Ini menandai penurunan proyeksi ekonomi ketiga oleh IMF di tahun 2022.
IMF diperkirakan akan merilis perkiraan terbarunya untuk ekonomi global 2022 dan 2023 pada akhir Juli mendatang, setelah memangkas perkiraannya hampir satu poin persentase penuh pada bulan April.
"Prospek sejak pembaruan terakhir kami pada bulan April telah menjadi gelap secara signifikan," kata Georgieva dalam sebuah wawancara, mengutip inflasi yang meluas, kenaikan suku bunga yang lebih substansial, perlambatan ekonomi China, serta meningkatnya sanksi terkait perang Rusia-Ukraina.
"Risiko (resesi) telah meningkat sehingga kami tidak dapat mengesampingkannya," ungkapnya.
Data ekonomi baru-baru ini menunjukkan beberapa negara ekonomi besar, termasuk China dan Rusia, telah mengalami kontraksi pada kuartal kedua, kata Georgieva.
"Ini akan menjadi tahun 2022 yang sulit, tetapi mungkin bahkan 2023 lebih sulit," imbuhnya.
"Risiko resesi meningkat pada 2023," sebut Georgieva.
Ketua The Fed Jerome Powell bulan lalu mengatakan bank sentral AS berkomitmen penuh untuk mengendalikan harga bahkan jika hal itu berisiko terhadap penurunan ekonomi.
Sementara itu, Georgieva mengatakan pengetatan kondisi keuangan yang lebih lama akan memperumit prospek ekonomi global, tetapi sangat penting untuk mengendalikan lonjakan harga.
Advertisement
Ramalan Nomura: AS, Inggris, Eropa Hingga Jepang Bakal Resesi 12 Bulan Kedepan
Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi.
Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.
"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022).
"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.
Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.
Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.
"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi," jelasnya.
Â