Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan stagflasi, menjadi ancaman besar bagi semua negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut diungkap dalam Rapat Paripurna DPR pada Jumat 20 Mei 2022.
Dua bulan kemudian, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan hal yang hampir sama. Dunia saat ini tengah menghadapi risiko stagflasi yang serius. Hal ini tak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 dan ketegangan politik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia.
Sedangkan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar periode 2022 - 2027, usai dilantik pada 20 Juli 2022, mengatakan bahwa OJK akan mengantisipasi dan menanggulangi seminimal mungkin risiko dampak pelemahan perekonomian global dan peningkatan harga, yang telah membawa perekonomian dunia pada kondisi stagflasi.
Advertisement
Deretan pejabat tersebut mengatakan bahwa stagflasi sangat berbahaya dan perlu diantisipasi oleh Indonesia. Tapi sebenarnya apa itu stagflasi?
Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi stagflasi adalah keadaan inflasi yang sangat tinggi dan berkepanjangan, ditandai dengan macetnya kegiatan perekonomian.
Sedangkan dikutip dari Wikipedia, Kamis (21/7/2022), stagflasi adalah periode ketika inflasi dan konstraksi ekonomi yaitu menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran terjadi secara bersamaan.
Istilah stagflasi pertama kali disebutkan oleh United Kingdom Chancellor of the Exchequer Iain MacLeod dalam pidatonya di hadapan parlemen pada tahun 1965.
Investorpedia menyebutkan bahwa stagflasi adalah kondisi ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang relatif tinggi, pada saat yang sama disertai dengan kenaikan harga atau inflasi.
Stagflasi dapat didefinisikan sebagai periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan produk domestik bruto (PDB).
Stagflasi ditandai dengan peningkatan agka inflasi secara simultan dan stagnasi output ekonomi.
Stagflasi pertama kali diketahui selama tahun 1970-an ketika banyak negara maju mengalami inflasi yang cepat dan pengangguran yang tinggi sebagai akibat dari guncangan minyak.
Pada periode tersebut terjadi resesi setelah krisis minyak ketika AS mengalami pertumbuhan PDB negatif.
Di saat yang bersamaan angka inflasi berlipat ganda pada 1973 dan mencapai dua digit pada 1974. Pengangguran pun mencapai 9 persen pada Mei 1975.
Â
Ancaman Stagflasi Incar Indonesia, Seberapa Mengerikan?
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan stagflasi menjadi ancaman besar bagi semua negara, termasuk Indonesia. Maka keadaan tersebut harus direspon dengan baik agar Indonesia tidak terjerumus ke dalamnya.
Menkeu menjelaskan, tingkat inflasi di Amerika Serikat yang sangat tinggi yaitu 8,4 persen yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir menjadi ancaman nyata bagi pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan bahkan ancaman dunia. Bank Sentral Amerika Serikat - The Fed, akan melakukan percepatan pengetatan moneter.
"Saat ini, kenaikan suku bunga acuan diperkirakan dapat terjadi hingga 7 kali di tahun 2022 dan berpotensi diikuti dengan kontraksi balance sheet yang menyebabkan lebih ketatnya kondisi likuiditas global," kata Menkeu dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda Penyampaian Pemerintah terhadap KEM dan PPKF RAPBN Tahun Anggaran 2023, Jum'at (20/5/2022).
Sementara itu, kata Menkeu, sejak awal 2021 sampai dengan Maret 2022, sejumlah negara berkembang G20 seperti Brazil, Meksiko, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya secara sangat signifikan.
"Spillover effect dari pengetatan kebijakan moneter dan likuiditas global ini harus kita waspadai, khususnya terhadap kenaikan cost of fund untuk pembiayaan, baik APBN maupun sektor korporasi, di tengah fase pemulihan ekonomi yang masih awal dan masih rapuh," ujar Sri Mulyani.
Â
Advertisement
Pergeseran Risiko
Bandahara negara ini menegaskan, pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sangat sulit, yang dihadapi oleh semua negara di dunia.
Pilihan kebijakan tersebut adalah, apakah segera mengembalikan stabilitas harga (mengendalikan inflasi) yang berarti pengetatan moneter dan fiskal yang akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan, atau tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi.
"Jika tidak terkelola, risiko global ini akan menggiring kepada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadinya resesi seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada periode awal 1980-an dan 1990-an," ujar Menkeu.
Kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif luar biasa ke seluruh dunia, terutama terhadap negara-negara berkembang dan emerging market.
"Perubahan risiko global ini harus menjadi fokus perhatian dan harus dikelola secara tepat langkah dan tepat waktu, hati-hati dan efektif. Pilihan kebijakan menjadi sangat sensitif dan tidak mudah," pungkas Menkeu.
Â