Liputan6.com, Jakarta Konsep Farmasi Hijau atau Green Pharmacy menawarkan lebih banyak manfaat bagi lingkungan, industri, hingga petani. Hal tersebut diungkapkan Director of Research & Business Development Dexa Group Dr. Raymond Tjandrawinata saat menyampaikan pemaparan dalam agenda T20 Indonesia Summit.
"Tumbuhan adalah organisme yang sangat bersahabat melindungi kesehatan manusia. Sekarang semakin banyak data bahwa tanaman berguna untuk obat-obatan dan manusia," kata Raymond dikutip dari Antara, Selasa (6/9/2022).
Baca Juga
Ia mengatakan tanaman juga bertindak di tingkat genomik sebab berguna untuk upaya preventif, promotif, dan kuratif di sektor kesehatan masyarakat.
Advertisement
Namun Farmasi Hijau perlu mengikuti proses modern dari penemuan obat, melalui pengujian pada hewan dan manusia. "Jika tidak, Green Pharmacy tidak akan digunakan oleh dokter dan ditambahkan ke pedoman praktik klinis," katanya.
Raymond mengatakan rantai nilai Farmasi Hijau tidak hanya datang dari produsen, tetapi kembali ke awal, yaitu petani sebagai sumber untuk memperoleh bahan baku.
"Jika berbicara tentang Green Pharmacy dalam jumlah besar, siapa yang akan mendapatkan keuntungan? Tidak hanya produsen, perusahaan, pasien, dan dokter, tetapi juga para petani yang memiliki kemampuan menanam sesuai dengan praktik agrikultur yang baik," katanya.
Setelah bahan baku diproduksi, kata Raymond, perusahaan farmasi mengolahnya dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan digunakan ke dalam Formularium Nasional sebelum diresepkan untuk pasien.
Â
Â
Â
Limbah Hasil Produksi Obat Berbahan Kimia
Dalam Forum bertajuk T20 Indonesia Summit: Strengthening The Role Of The G20 To Navigate The Current Global Dynamics itu Raymond juga mengungkap dampak negatif dari limbah hasil produksi obat berbahan kimia pada risiko paparan manusia melalui makanan dan minuman.
"Misalnya mulai dari riset dan pengembangan manufaktur, distribusi, konsumsi, bahkan hingga pengelolaan limbah, obat-obatan jenis ini memiliki beberapa dampak terhadap lingkungan," katanya.
Contohnya adalah dari air yang terkontaminasi di Hyderabad, India pada 2016. "Hyderabad adalah bagian dari kota di India di mana banyak obat diproduksi, namun memiliki masalah, kontaminasi yang berasal dari produksi dan sintesis produk dari obat-obatan ke dalam air tanah," katanya.
Menurut SeaStats Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat tiga terbawah negara berkategori Enviromentally Friendly karena pengaruh limbah besar obat-obatan.
"Untuk itu, perlu banyak memberikan perhatian dan edukasi kepada masyarakat yang tujuannya adalah kelestarian lingkungan. Perlu dikembangkan program, dan mengajarkan orang tentang lingkungan untuk memengaruhi keyakinan dan nilai-nilai manusia," katanya.
Advertisement
Punya Banyak Bahan Baku, Ini Tantangan Mengembangkan Farmasi Hijau di Indonesia
Lead Co-Chair of Task Force 6 T20 Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki banyak tantangan dalam mengembangkan konsep farmasi hijau atau green pharmacy.
Pembahasan ini menjadi salah satu yang disorot dalam forum diskusi T20 Indonesia Summit yang berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 5 s.d 6 September 2022.
Menurut Hasbullah, Indonesia perlu mengamati lebih banyak potensi dari berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai obat-obatan. Namun, salah satu hal yang menjadi tantangan adalah kurangnya penelitian berbasis bukti terkait pengobatan tersebut.
"Kita punya banyak tantangan. Pertama, penelitian berbasis bukti perlu untuk ditunjukkan, dan saya pikir India memberikan pelajaran yang baik dengan banyak penelitian. Indonesia juga dibawah Texas melakukan banyak penelitian untuk mengamati lebih banyak potensi keanekaragaman tanaman kita," kata Hasbullah dalam forum diskusi T20: Green Pharmacy’s Role in Supporting Global Health Architecture, Selasa, 6 September 2022.
"Kita punya banyak potensi. Tapi bagaimana kita membuktikan kalau farmasi hijau atau fitofarmaka, atau obat-obatan apapun yang kita kembangkan dari tanaman, harus dikembangkan dan dibuktikan berdasarkan penelitian,"Â Hasbullah menambahkan.
Hasbullah mengungkapkan bahwa pada zaman dulu, Malaria juga pernah diobati dengan tanaman yakni Kina. Sehingga penting untuk melakukan eksplorasi terhadap tanaman lainnya yang ada di Indonesia.
"Dalam kasus ini, saya rasa T20 harus merekomendasikan pada G20 untuk menyediakan ruang bagi penelitian ini, untuk menyediakan dana pada institusi publik maupun privat. Ini akan bermanfaat di masa depan. Kita mungkin tak akan melihatnya sekarang," kata Hasbullah.
Didukung oleh Komunikasi yang Efektif
Lebih lanjut Hasbullah mengungkapkan bahwa setelah penelitian dilakukan, langkah selanjutnya adalah bagaimana mengomunikasikan hasil temuan tersebut secara efektif.
"Orang-orang perlu percaya bahwa tanaman ini dapat memberikan manfaat kesehatan yang baik. Itu bagaimana kita mengomunikasikannya, ini menjadi tantangan kita. Semoga kita bisa merekomendasikannya pada para pemimpin G20," ujar Hasbullah.
T20 sendiri merupakan salah satu forum diskusi yang menjadi bagian dari G20. Dalam kesempatan tersebut, para ahli memiliki ruang untuk berdiskusi dan merekomendasikan berbagai solusi terkait isu yang dibahas.
Mengutip laman Summit T20 Indonesia, obat-obatan herbal yang disebut sebagai farmasi hijau dan fitoterapi semakin menjadi fokus penelitian dan industri di dunia, termasuk untuk negara-negara G20 seperti Indonesia, India, Eropa dan Cina.
Saat ini, data seputar fitoterapi juga telah tersedia dan telah berkembang di negara-negara seperti India, Cina, Jerman sebagai bagian dari ekosistem obat yang lebih luas yang diakui secara hukum oleh pemerintah.Â
Advertisement