Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan bahwa AS menghadapi risiko resesi karena pertempurannya melawan inflasi dapat memperlambat ekonomi negara.
Tetapi Yellen juga menambahkan bahwa penurunan ekonomi yang serius masih dapat dihindari.
Baca Juga
Resesi Amerika "adalah risiko ketika The Fed memperketat kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi", kata Yellen, dikutip dari Channel News Asia, Senin (12/9/2022).
Advertisement
"Jadi itu tentu risiko yang kami pantau," tuturnya, seraya menambahkan bahwa AS memiliki pasar tenaga kerja yang kuat yang dapat dipertahankan.
Dihadapkan dengan lonjakan inflasi, yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun pada Juni 2022 di 9,1 persen, The Fed secara bertahap menaikkan suku bunga utamanya untuk mengurangi tekanan pada harga konsumen, serta berharap langkah tersebut tidak menurunkan ekonomi AS.
Bank komersial menggunakan suku bunga utama The Fed untuk menetapkan ketentuan suku bunga yang mereka tawarkan kepada klien individu dan korporat mereka. Tarif yang lebih tinggi mengurangi konsumsi dan investasi.
"Inflasi terlalu tinggi, dan penting bagi kita untuk menurunkannya," kata Yellen.
The Fed pun berusaha menargetkan inflasi kembali 2 persen - tanpa memunculkan resesi, sebuah langkah yang dapat menyebabkan angka pengangguran melonjak.
"Saya percaya ada jalan untuk mencapai itu," jelas Yellen. "Dalam jangka panjang, kita tidak bisa memiliki pasar tenaga kerja yang kuat tanpa inflasi terkendali," sebutnya.
"Kami tidak dalam resesi. Pasar tenaga kerja sangat kuat ... Ada hampir dua lowongan pekerjaan untuk setiap pekerja yang mencari pekerjaan," dia menekankan.
Para Ekonom Ramal Resesi AS Terjadi di Pertengahan 2023
Ekonom memprediksi Federal Reserve akan sulit menjinakkan inflasi tanpa melindungi ekonomi Amerika Serikat dari jurang resesi.
Prediksi resesi AS diungkapkan dalam survey yang dilakukan asosiasi ekonom internasional terbesar, National Association of Business Economics (NABE).
Dilansir dari CNN Business, Selasa (23/8/2022) 72 persen ekonom yang disurvei NABE melihat resesi AS berikutnya akan terjadi pada pertengahan tahun depan, jika belum dimulai.
Temuan itu mencakup hampir satu dari lima ekonom (19 persen) yang mengatakan ekonomi AS sudah dalam resesi, sebagaimana ditentukan oleh organisasi penelitian swasta Amerika, NBER.
Sementara itu, 20 persen ekonom lainnya tidak memperkirakan resesi akan terjadi sebelum paruh kedua tahun depan.
"Hasil survei mencerminkan banyak pendapat yang berbeda di antara para panelis," kata Presiden NABE David Altig dalam sebuah pernyataan.
"Ini dengan sendirinya menunjukkan ada kejelasan yang kurang dari biasanya tentang prospek," ungkapnya.
Survei NABE, yang dilakukan antara 1 Agustus dan 9 Agustus, menampilkan tanggapan dari 198 anggota asosiasi ekonom tersebut.
Bulan lalu, Ketua Fed Jerome Powell menyatakan dalam konferensi pers bahwa masih ada jalan untuk mengendalikan inflasi tanpa memicu penurunan.
Namun, bahkan Powell mengakui bahwa jalan itu semakin sempit karena The Fed terpaksa menggunakan kenaikan suku bunga drastis untuk menurunkan inflasi.
Hampir tiga dari empat peramal ekonomi, atau 73 persen dalam survei NABE mengatakan mereka sama sekali tidak yakin atau tidak terlalu yakin bahwa The Fed dapat menurunkan inflasi kembali ke sasaran 2 persesn tanpa menyebabkan resesi dalam dua tahun ke depan.
Hanya 13 persen ekonom yang disurvei NABE mengatakan mereka yakin atau sangat yakin The Fed dapat melakukan langkah tersebut.
Advertisement
Ekonomi Terkontraksi 0,9 Persen di Kuartal Kedua 2022, Amerika Sudah Resesi?
Ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi di kuartal kedua 2022. Produk domestik bruto AS turun 0,9 persen pada kuartal kedua 2022 secara tahunan (year-on-year).
Dilansir dari CNBC International, Jumat (29/7/2022), angka ini mengikuti penurunan penurunan 1,6 persen di kuartal pertama dan lebih rendah dari perkiraan Dow Jones untuk kenaikan 0,3 persen.
Diketahui bahwa, secara resmi, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) adalah lembaga yang secara resmi menyatakan resesi, yang biasanya terjadi setelah berbulan-bulan penelitian dan perdebatan; namun definisi tradisional adalah ketika ekonomi berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
Penurunan PDB ini berasal dari berbagai faktor, termasuk berkurangnya persediaan, penurunan investasi perumahan dan non-perumahan, serta pengeluaran pemerintah di tingkat federal, negara bagian dan lokal.
Di sisi lain, meski PDB menunjukkan penurunan selama dua kuartal berturut-turut, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan bahwa ekonomi negaranya berada dalam keadaan transisi, bukan resesi.
Namun Yellen menyebut, AS tengah melihat pelemahan ekonomi yang luas yang mencakup PHK besar-besaran, penutupan bisnis, ketegangan dalam keuangan rumah tangga dan perlambatan aktivitas sektor swasta.
"(Resesi) itu bukan apa yang kita lihat sekarang,” katanya dalam sebuah konferensi pers.
"Ketika Anda melihat ekonomi, penciptaan lapangan kerja terus berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, konsumen belanja dan bisnis tumbuh," ujarnya.
"Kami telah memasuki fase baru dalam pemulihan kami yang berfokus pada pencapaian pertumbuhan yang stabil tanpa mengorbankan keuntungan dari 18 bulan terakhir," lanjut Yellen.
"Kami tahu ada tantangan di depan kami. Pertumbuhan melambat secara global. Inflasi tetap sangat tinggi, dan merupakan prioritas utama pemerintahan ini untuk menurunkannya," tambah dia.