Sah, Jokowi Larang Pembangunan PLTU Baru

Presiden Jokowi resmi melarang pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru.

oleh Tira Santia diperbarui 15 Sep 2022, 18:45 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2022, 18:45 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Pengarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Komisaris dan Direksi PT Pertamina dan PT PLN, 16 November 2021. (Dok Sekretariat Kabinet RI)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi melarang pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Dikutip Liputan6.com, Kamis (15/9/2022),  peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 September 2022.

Dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat 1 Perpres,  dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.

Selanjutnya, pada pasal yang sama ayat 2 dijelaskan, penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.

"Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat (a) pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, (b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan (c) keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya," tulus keterangan pasal 3 ayat 3.

Kemudian, di ayat berikutnya dijelaskan kalau pengembangan PLTU diperbolehkan, tapi harus memenuhi tiga hal sebagaimana yang tertulis dalam ayat 4, yaitu pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk (a) PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

Atau (b) PLTU yang memenuhi persyaratan sebagai berikut, pertama, harus terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional

Kedua, pengembangan PLTU harus berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. Ketiga, pengoperasian paling lama sampai dengan tahun 2050.

Sementara, pada Ayat 5 tertulis, dalam upaya meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu (a) operasi PLTU milik sendiri, dan/atau (b) kontrak Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) PLTU yang dikembangkan oleh Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.

Usai PLTU, Pajak Karbon Bakal Menyasar Sektor Transportasi

Simak Strategi PLN Amankan Pasokan Batu Bara ke PLTU
PLN mendorong skema kontrak jangka panjang dengan penambang. Hal terjadi dijadikan strategi jitu untuk mengamankan pasokan batu bara bagi pembangkit milik perseroan.

Pajak karbon yang tadinya bakal diterapkan pada 1 Juli 2022 kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri dalam menerapkan pajak karbon.

Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama. Ke depan setelah PLTU batu bara, pajak karbon bakal menyasar ke sektor transportasi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meminta masyarakat menggunakan sumber energi bersih untuk kebutuhan transportasi dengan berevolusi dalam kendaraan bermotor. Jika saat ini dominasi kendaraan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan akan didorong bergeser menggunakan sumber energi listrik.

Pergeseran pola transportasi dibutuhkan dalam jangka panjang. Pasalnya, harga energi fosil akan makin mahal dan ditambah potensi bertambahnya beban pajak untuk penggunaan energi tidak terbarukan.

"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar menjadi berlistrik. Apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi ke depannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (6/9/2022).

 

Dukungan Menteri ESDM

Kementerian ESDM Gelar Program Magang Guna Meningkatkan Kompetensi Pegawai
(Foto:Dok.Kementerian ESDM)

Oleh karena itu, Menteri ESDM mendukung penuh upaya transisi kendaraan bermotor menjadi berbasis baterai listrik.

Menurutnya, pemerintah membuka kesempatan kepada semua pihak dalam upaya transisi energi ramah lingkungan. Hal tersebu berlaku pada sektor transportasi seperti mobil listrik atau motor listrik.

"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya