Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menunda penerapan kebijakan pajak karbon dua kali di 2022. Informasi terbaru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kebijakan pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025.
Menko Airlangga mengatakan, penerapan pajak karbon akan membantu pemerintah dalam mencapai target emisi nol persen atau net zero emission pada 2060. Menyusul, kian berkurangnya pemanfaatan sumber energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.
Sebelum melangkah lebih jauh, apa sebenarnya pajak karbon itu?
Advertisement
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Jumat (13/10/2022), mengutip dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, “Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup” Pasal 13 ayat (1).
Adapun subjek pajak karbon yang tertuang dalam Pasal 13 ayat (5) adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan saat terutangnya pajak karbon ditentukan pada saat pembelian, pada akhir periode tahun dari aktivitas serta saat lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Tujuan adanya pajak karbon juga tertuang pada pasal yang sama dalam Undang-Undang ini pada ayat (12) yaitu “Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim”.
Emisi karbon menjadi dampak negatif yang sangat menghambat transisi menuju dekarbonisasi untuk menciptakan lingkungan hijau dan aktivitas ramah lingkungan. Pajak karbon menjadi solusi dalam membatasi jumlah dan sebagai alat barter untuk dapat memperbaiki dampak negatif yang masih tersisa.
Melalui peraturan ini, Indonesia masuk dalam salah satu negara yang menerapkan pajak karbon untuk kebaikan lingkungan hidup masyarakatnya dengan mengedepankan aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Ada tiga tujuan pengenaan pajak karbon. Pertama adalah untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Kedua adalah mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca dalam jangka menengah dan Panjang.
Sedangkan ketiga adalah mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Sedangkan untuk prinsip-prinsip penerapannya terdapat tiga juga. Pertama adalah adil yaitu berdasarkan prinsip mencar membayar. Kedua adalah terjangkau yaitu dengan memperhatikan aspek kejerjangkauan demi kepentingan masyarakat luas. Sedangkan ketiga adalah bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan.
Menko Airlangga: Pajak Karbon Mulai Diterapkan 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjawab rasa penasaran publik terkait waktu penerapan pajak karbon. Pasalnya, pemerintah telah menunda penerapan kebijakan ramah lingkungan tersebut sebanyak dua kali di tahun 2022 ini.
Menko Airlangga menyampaikan, kebijakan pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025 mendatang. Meski begitu, Airlangga tidak menyebut alasan pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan pajak karbon sampai tiga tahun mendatang itu.
"Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025," kata Menko Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022 (CMSE 2022) di Jakarta, Kamis (13/10).
Selain pajak karbon, pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya berbasis listrik di sektor industri. Hal ini demi mempercepat terwujudnya green industry di Indonesia.
Menko Airlangga berharap, penerapan sejumlah kebijakan tersebut akan membantu pemerintah dalam mencapai target emisi nol persen atau net zero emission pada 2060 mendatang. Menyusul, kian berkurangnya pemanfaatan sumber energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.
"Di sektor energi terbarukan pemerintah terus untuk penyediaan tenaga listrik untuk green economy," pungkasnya.
Advertisement
Ini Alasan Pemerintah Tunda Penerapan Pajak Karbon di Indonesia
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan pajak karbon untuk sektor PLTU batu bara yang seharusnya mulai berlaku pada 1 April 2022. Pengenaan pajak untuk menurunkan emisi karbon ini ditunda pelaksanaannya hingga 1 Juli 2022 mendatang.
"Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Jakarta, Jumat (1/4).
Dia menjelaskan, saat ini pihaknya sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon. Mulai dari tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.
Agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021. Antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
"Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim," kata Febrio.
Dia melanjutkan, proses penyusunan peta jalan (roadmap) pajak karbon perlu memperhatikan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon di antaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.
"Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi," tutupnya.