Liputan6.com, Jakarta- Negara berkembang harus bersiap-siap. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol memperingatkan bahwa negara-negara berkembang paling rentan terhadap kenaikan harga energi.
Birol menyebut, mereka yang akan terkena dampak paling parah dari krisis energi termasuk negara-negara pengimpor minyak di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin karena harga impor yang lebih tinggi dan mata uang mereka yang lemah. Negara-negara pengimpor minyak di Timur Tengah dan Afrika Utara termasuk Djibouti, Sudan, Maroko dan Pakistan.
"Bukan AS yang akan paling menderita (dari) harga energi yang tinggi," kata Birol, dikutip dari CNBC International, Rabu (26/10/2022).
Advertisement
Pada Mei 2022, Dana Moneter Internasional merevisi perkiraan proyeksi pertumbuhan untuk negara-negara pengimpor minyak, karena tingginya harga energi diperkirakan akan menambah serangkaian tantangan ekonomi yang sudah membebani mereka.
"Harga komoditas yang tinggi menambah tantangan yang berasal dari peningkatan inflasi dan utang, pengetatan kondisi keuangan global, kemajuan vaksinasi yang tidak merata, dan kerentanan serta konflik di beberapa negara," jelas IMF dalam laporan mereka.
Eropa kini sedang berjuang dengan kekurangan gas karena Rusia memangkas pasokan. Situasi ini mendorong krisis energi di kawasan itu menjelang musim dingin. National Grid Inggris pun sudah memperingatkan kemungkinan pemadaman listrik.
"Kita berada di tengah-tengah krisis energi global pertama yang sesungguhnya," ujar Birol. "Dunia kita belum pernah menyaksikan krisis energi dengan kedalaman dan kompleksitas ini," sambungnya.
Dia menambahkan bahwa pasar minyak akan terus melihat volatilitas selama perang Rusia-Ukraina berlanjut.
IEA : Permintaan Melonjak, Harga LN Gas Masih Akan Tinggi
Birol juga mengatakan dia memperkirakan sejumlah negara di dunia akan terus melihat harga LN gas yang tinggi, mengutip ekonomi China yang pulih dan tingginya kebutuhan Eropa untuk mengimpor.
Menurut Birol, harga LN gas di kawasan Asia lima kali lebih tinggi dari biaya rata-rata lima dalam tahun terakhir, dan tahun depan akan menghadapi tantangan yang lebih besar.
"Eropa ingin membeli LN has, China akan kembali sebagai importir LN gas utama, dan sangat sedikit kapasitas LN gas baru yang masuk ke pasar," ungkapnya.
“Kita tidak boleh lupa bahwa krisis ini memberikan dorongan kepada banyak pemerintah di seluruh dunia untuk memasukkan sejumlah besar uang (ke dalam) transisi energi bersih," jelas Birol.
Dia mengutip Undang-Undang Pengurangan Inflasi di AS yang baru-baru ini diberlakukan. Gedung Putih mengatakan investasi iklim akan mengurangi biaya yang terkait dengan kenaikan suhu, meminimalkan kerusakan properti dari kenaikan permukaan laut dan bencana lainnya serta mengurangi dampak kesehatan seperti kematian dini.
Advertisement
Bos Shell Akui Eropa Bakal Tersandera Krisis Energi Jangka Panjang
Kepala eksekutif Shell, Ben van Beurden buka suara terkait krisis energi yang dihadapi kawasan Eropa. Dia menilai Eropa menghadapi "rasionalisasi industri" yang berat karena krisis energi yang berisiko menimbulkan masalah politik.
Dilansir dari Channel News Asia, Senin (24/10/2022), Shell baru saja menyetujui kesepakatan untuk 9,3 persen saham di proyek North Field South Qatar Energy, yang akan memainkan peran utama dalam upaya negara itu untuk meningkatkan produksi gas alam cair (LNG) sebesar 50 persen dalam lima tahun ke depan.
Pada upacara penandatanganan di Doha, van Beurden mengatakan industri Eropa menghadapi pukulan besar dari krisis energi, diperburuk oleh perang Rusia-Ukraina.
Dia menyebut, Eropa telah mengurangi konsumsi yang cukup signifikan menyusul penurunan hingga 120 juta ton gas dari Rusia per tahun. Selain itu, "banyak pengurangan ini dicapai dengan mematikan industri".
Diketahui bahwa kawasan itu tengah berupaya mencari alternatif cepat untuk impor gas selain Rusia, tetapi van Beurden mengatakan Eropa akan membutuhkan LNG dalam jumlah besar selama beberapa dekade.
"Banyak orang bilang, matikan thermostat, atau mungkin tidak nyalakan AC," ujarnya.
"Tetapi ada juga pertanyaan, 'mengapa kita tidak mematikan pabrik pupuk yang kita miliki' atau 'mari kita mengurangi beberapa produksi petrokimia secara umum', dan rasionalisasi itu, jika berlangsung cukup lama, dikhawatirkan menjadi permanen," sambung van Beurden.