Liputan6.com, Jakarta Pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih terus berlangsung. Di mana beleid ini akan menjadi pijakan keberadaan transisi energi hijau di Indonesia.
Seiring pembahasannya, salah satu yang menjadi sorotan keberadaan skema power wheeling dalam RUU EBT ini. Dimaksud power wheeling adalah pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).
Baca Juga
Ternyata keberadaan skema tersebut dikhawatirkan membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Seperti diungkapkan Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov.
Advertisement
Dia mengingatkan jika sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara. Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT menyebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," jelas dia.
Dia pun mempertanyakan dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling. Menurutnya, ada 3 alasan mengapa publik perlu mencermati pasal perihal power sheeling dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5).
Pertama, tidak ada urgensi sama sekali menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Alasan Lain
Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Di mana, ada disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan listrik sehingga diproyeksikan oversupply listrik tahun 2022 ini akan menyentuh 6-7GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Ketiga, implikasi kerusakan terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya.
Advertisement