Liputan6.com, Jakarta Industri biodiesel di Indonesia telah sesuai arahan pemerintah sebagai upaya membangun kemandirian energi di dalam negeri, serta mendukung sektor perkebunan kelapa sawit.
Hal ini menyikapi demo lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan petani kelapa sawit, dan terus-menerus menyuarakan mengenai pengusaha yang dianggap diuntungkan subsidi biodiesel.
Baca Juga
"Produsen jangan terusan-terusan jadi victim (korban) karena mereka mengikuti aturan pemerintah. Kalau ada yang dilanggar ada proses hukumnya," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (Paspi) Tungkot Sipayung, Rabu (16/11/2022).
Advertisement
Menurutnya, subsidi biodiesel sebenarnya bukan diberikan kepada pelaku usaha, tetapi kepada konsumen. Pasalnya, harga biodiesel tergantung harga CPO dan BBM dunia. Pemerintah setiap bulan telah menetapkan Harga Indeks Pembelian (HIP) solar dan HIP biodiesel.
Jika HIP solar lebih murah dari HIP biodiesel, maka BPDPKS menutup selisihnya (HIP biodiesel dikurangi HIP solar). Sebaliknya, bila HIP Solar lebih mahal dari HIP biodiesel (seperti saat ini) tidak ada subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkenunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pada kesempatan itu, Tungkot juga menjelaskan bahwa kartel di industri sawit, terutama minyak goreng di Indonesia secara ekonomi tidak ada karena jumlah pemainnya banyak.
"Paling ideal adalah persaingan sempurna, yang mana pemainnya banyak, seragam, dan tidak ada persaingan tapi itu hanya ada di text book," ujarnya.
Di Indonesia, kata dia, ada banyak pelaku minyak goreng, yaitu sekitar 100 produsen dari skala kecil hingga besar. Dari jumlah tersebut, sekira 70 produsen menjadi anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni).
Sesuai adagium ekonomi, jika ada banyak pemain dalam suatu industri, meskipun mereka didorong untuk melakukan kartel tetap tidak akan terjadi karena industri akan berjalan sendiri-sendiri. Kondisinya akan berbeda jika pemainnya sedikit, kendati dilarangpun, tetap akan terjadi kartel.
"Sekarang ada 70-80 produsen dan mereknya berbeda-beda, itu cukup banyak untuk ukuran industri minyak sawit di Indonesia," kata Tungkot.
Indikasi Lain
Indikasi lain tidak adanya kartel minyak goreng yaitu persaingan pasar minyak goreng dalam negeri tidak hanya sawit, tetapi juga ada minyak nabati lainnya dari luar negeri, seperti rapeseed dan biji bunga matahari. Selain bahan baku melimpah, ada banyak distributor dan pemain di setiap provinsi.
Sementara itu, Berdasarkan data Paspi, harga minyak goreng dalam negeri mengikuti irama harga dunia yang menunjukkan pasar terintegrasi dengan internasional. Tungkot menyebut, kondisi tersebut justru positif yang menunjukkan bahwa pasar di tanah air efisien.
"Sejak 2019 harga dalam negeri lebih stabil dibanding internasional. Kalau ada kartel harga lokal pasti ikut internasional," ungkapnya.
Tungkot menambahkan, tidak ada mafia minyak goreng yang memicu kelangkaan. Hal itu terjadi akibat berlakunya dimestic price obligation (DPO), yaitu ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng Rp 14 ribu di tangan konsumen, padahal ada biaya distribusi dari produsen ke pasar dan tidak sesuai dengan harga CPO yang berlaku. Hal iu menyebabkan produsen rugi sehingga memangkas produksinya.
Advertisement
Sulit Terjadi Kartel di Industri Minyak Goreng, Ini Alasannya
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Ir. Tungkot Sipayung berpendapat, dugaan adanya kartel dilakukan oleh 27 perusahaan produsen minyak goreng, sulit dibuktikan.
“Sulit terjadi kartel, produsennya terlalu banyak. Dalam hukum ekonomi, kalau pemain atau produsennya terlalu banyak akan sulit terjadi kartel, berbeda jika pemainnya sedikit. Dilarang pun sangat mungkin terjadinya kartel,” kata Tungkot melalui siaran pers yang diterima redaksi, Senin, 17 Oktober 2022.
Menurut Tungkot, dalam industri minyak goreng di Indonesia pemainnya banyak sekali. Produsen dengan skala besar, sedikitnya terdapat lebih dari 70 perusahaan besar, sementara yang menengah dan kecil lebih banyak lagi. Hampir setiap provinsi di Indonesia ada produsen.
“Bagaimana mungkin terjadi kartel jika industrinya terlalu banyak. Apalagi, jumlah distributor dan sub distributornya banyak sekali, bahkan mencapai ribuan. Belum lagi konsumennya pun banyak,” jelas Tungkot.
Konsumen minyak goreng, lanjutnya, sangat besar, mulai dari industri makanan, restoran cepat saji, UMKM, dan rumah tangga. Dari segi kualitas juga banyak sekali ragamnya, mulai minyak goreng premium, kemasan sederhana hingga minyak goreng curah dengan peruntukan yang berbeda-beda.
“Melihat banyaknya pemain, mulai hulu hingga hilir, dapat dipastikan kartel minyak goreng sulit terjadi. Kartel minyak goreng tidak mungkin terjadi, jika melihat produsennya yang begitu banyak, serta jalur distribusi yang melibatkan ribuan distributor dan subdistributor, dan retailer,” tegas Tungkot.
Industri Hulu Minyak Goreng
PASPI mencatat, industri hulu minyak goreng melibatkan lebih dari 3.000 perusahaan produsen CPO yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk atau mereknya pun banyak sekali, macam-macam.
Tungkot menjelaskan, salah satu indikasi atau cara untuk mengetahui adanya kartel itu, sangat gampang. Yakni, dengan melihat, apakah harga minyak goreng itu di atas harga mekanisme pasar atau tidak. Jika harga yang dibayarkan oleh konsumen sama atau lebih rendah dari harga pasar, kartel atau oligopoli tak terjadi.
“Tak perlu terlalu menggunakan banyak teori dengan indeks ini dan itu. Caranya cukup gampang, cek harganya apakah lebih murah atau lebih mahal dari mekanisme pasar. Jika lebih murah, dapat dipastikan tidak terjadi kartel,” tegas Tungkot.Dikatakannya, minyak goreng itu bukan hanya diperdagangkan dalam negeri tetapi juga diperdagangkan di tingkat global dalam bentuk RBDPO (Refined, Bleached and Deodorizing Palm Oil). Hal ini terlihat, ternyata harga dalam negeri dan internasional sangat jauh perbedaannya.
“Sejak dahulu, baik sebelum dan sesudah pandemic Covid-19, harga minyak goreng yang dibayarkan konsumen di dalam negeri lebih murah dibandingkan dengan harga internasional. Ini membuktikan tidak ada kartel,” tandasnya.
Selain itu, di pasar minyak goreng dalam negeri banyak sekali beredar produk minyak goreng dengan merek yang berbeda-beda. Begitu, juga dengan kualitas yang berbeda-beda.
Tungkot pun mengapresiasi peran pemerintah yang berhasil melindungi pasar minyak goreng dalam negeri tetap lebih murah dibandingkan dengan harga di luar negeri.
Advertisement