Liputan6.com, Jakarta Investasi asing bisa menyinggung persoalan nasionalisme jika kehadirannya justru ikut berperan besar menambah masalah di Indonesia, khususnya di sektor kerusakan infrastruktur jalan.
Tak main-main, Kerugian negara berupa kerusakan infrastruktur jalan nasional mencapai Rp 43 triliun per tahun, akibat truk yang melanggar aturan Over-Dimension Overload (ODOL) atau truk kelebihan muatan.
Baca Juga
“Penegakan hukum harus ditujukan ke para pemilik barang, termasuk perusahaan multinasional yang di negara asalnya mereka justru patuh pada peraturan perundangan,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Riset Lingkungan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin di Jakarta, Kamis (2/1/2023).
Advertisement
“Kalau bukan dimiliki lokal, biasanya perusahaannya terikat dengan perusahaan prinsipal di negara asalnya yang terikat erat dengan peraturan perundangan,” lanjut dia.
Bila pengusaha lokal saja tidak peduli nasionalisme karena telah melakukan perusakan fasilitas publik strategis, jangan heran bila pelaku usaha asing pun memanfaatkan kondisi hukum di negara dunia ketiga seperti Indonesia yang dinilai masih lemah.
“Kemenhub dalam konteks ini harus tegas untuk memproses hukum pidana berat para pelaku ODOL, termasuk para pemilik truk dan sopirnya. Karena kalau ODOL-nya saja itu tindak pidana ringan,” katanya.
Menanggapi rencana untuk menghentikan operasi armada truk ODOL ini, Ahmad menegaskan bahwa masyarakat sipil berada di belakang pemerintah dalam melindungi keselamatan warga masyarakat dan juga aset-aset negara dari kerusakan.
Dukung Zero ODOL
Ahmad mengatakan, pihaknya mendukung terwujudnya Zero ODOL sesegera mungkin, apalagi pemerintah sudah menegaskan sebelumnya akan melakukan penertiban pelanggaran pelaksanaan Zero ODOL mulai 1 Januari 2023.
Ia memaparkan banyak bukti dampak negatif praktik truk-truk dengan muatan berlebihan di jalan raya, utamanya kecelakaan jalan raya.
Kemudian, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, dugaan pungutan liar oleh pemilik barang atas ongkos angkut barang dengan muatan di luar kapasitas, pemborosan bahan bakar minyak (BBM) serta peningkatan intensitas pencemaran udara dan gas rumah kaca.
“Kami sudah mempersiapkan soal ini sejak 2021. Kalau tidak ada upaya pemerintah yang konkret dalam waktu dekat, kami akan mengajukan gugatan hukum ‘Class Action’ kepada pemerintah atau pelaku ODOL,” kata Ahmad.
Advertisement
Berantas Truk ODOL, Pemerintah Harus Beri Alternatif Angkutan Logistik
Kementerian Perhubungan menyatakan akan menjalankan kebijakan Zero Odol (over dimension overload) di 2023. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta pemerintah agar tidak tergesa-gesa dalam menerapkan kebijakan itu. Dia mengatakan, kebijakan yang dibuat serampangan hanya akan membuat masyarakat semakin susah.
"Iya kalau menurut saya sih memang masih belum waktunya. Itu (kebijakan) ada efek dominonya kan," kata Trubus saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Dia mengatakan, penerapan zero odol di 2023 akan memicu kenaikan harga barang konsumsi mengingat tidak sedikit kebutuhan bahan pokok masyarakat yang diangkut menggunakan truk. Kalau sudah begitu masyarakat kembali menjadi korban dari kebijakan yang gegabah hingga dipaksa berdamai dengan keadaan.
Asumsi perhitungan kenaikan harga barang akibat penerapan zero odol yang prematur sempat dihitung oleh Asosiasi Logistik Indonesia (ALI).
Mereka memperkirakan bahwa harga barang logistik akan naik hingga 50 persen akibat kebijakan tersebut, artinya publik harus mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Daya Saing Industri Bakal Menurun
Lebih jauh, Trubus menjelaskan bahwa kebijakan zero odol juga berdampak pada daya saing industri dalam negeri. Dia mengatakan, industri harus menanamkan modal untuk menambah unit distribusi mereka lantaran truk akan mendapat tindakan pidana apabila melintas melebihi kapasitas angkut.
Trubus mengatakan, kondisi itu akan membuat distribusi barang-barang yang sudah diproduksi industri akan tertahan hingga ke daerah-daerah. Hal ini akan memicu kelangkaan ketersediaan barang yang berdampak pada peningkatan harga hingga berpotensi memicu inflasi.
"Jadi ini masih terlalu beresiko kalau mau diterapkan. Menurut saya bisa diterapkan tapi untuk jangka pendek ini perlu kolaborasi dan sinergitas antara kementerian perhubungan, kementerian perindustrian, dan pemerintah daerah," katanya.
Pemerintah menilai bahwa truk odol menjadi penyebab kerusakan jalan. Trubus berpendapat kalau penambahan armada transportasi angkutan logistik juga memiliki dampak negatif terhadap jalan. Dia mengatakan, frekuensi perlintasan angkutan juga berpotensi memperpendek usia jalan.
"Belum lagi kemacetan juga. Nambah truk lagi ya nambah kemacetan juga. Antrian itu kan ada karena jumlah truknya jadi lebih banyak. Belum lagi (perusahaan) harus menambah SDM-nya juga," katanya.
Advertisement