Biskuit Cegah Stunting Rusak dan Berjamur, BPKN: Bukannya Sehat Malah Jadi Penyakit

BPKN menemukan pemberian makanan tambahan (PMT) berupa biskuit untuk mencegah stunting dalam keadaan rusak, bahkan berjamur di sejumlah daerah. Hal ini membuat masyarakat khawatir untuk mengkonsumsi.

oleh Tira Santia diperbarui 02 Feb 2023, 19:42 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2023, 19:30 WIB
Ilustrasi biskuit.
Ilustrasi biskuit.(Dok. Einladung_Zum_Essen/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mempersoalkan Kementerian yang masih memberikan biskuit demi mencegah stunting. Ia mendesak kebijakan itu segera diganti agar meningkatkan kualitas gizi anak, yakni dengan mengonsumsi protein hewani seperti telur dan ikan.

Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Renti Maharaini, mendukung program pemerintah dalam pencegahan stunting. Namun pada penerapannya otoritas yang berwenang harus lebih memperhatikan kualitas pemberian makanan tambahan (PMT) berupa biskuit pada program pencegahan stunting di Indonesia.

Temuan PMT tak layak pangan dalam program tersebut dalam keadaan rusak, bahkan berjamur, di sejumlah daerah membuat masyarakat khawatir untuk mengkonsumsi.

“Semua biskuit bantuan untuk pencegahan stunting yang berjamur seharusnya melewati proses pengawasan yang ketat oleh otoritas terkait. Kasihan masyarakat yang sudah sangat senang menyambut program tersebut menjadi khawatir jika mengkonsumsi biscuit tersebut bukanya balita makin sehat malah menjadi sumber penyakit lainya,” kata Renti, dalam keterangannya, Kamis (2/2/2023).

Renti menjelaskan, masyarakat penerima bantuan PMT yang dalam hal ini umumnya balita dan anak adalah konsumen yang punya hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk dan sebaliknya pihak penyumbang dalam program PMT berkewajiban menjamin kualitas produk yang akan disumbangkan dalam kondisi yang baik sesuai standar mutu sebagaimana Pasal 4 huruf a jo. Pasal 7 huruf a dan d UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

 

Prevalensi Stunting

Ilustrasi Stunting
Ilustrasi Stunting. Foto: Ade Nasihudin Liputan6.com (9/11/2020).

Adapun BPKN-RI mendapatkan data berdasarkan Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6 persen. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yakni 24,4 persen. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14 persen dan standard WHO di bawah 20 persen.

Hingga kini, dia menilai masih banyak persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam penanganan stunting. Salah satunya adalah masih belum tercukupinya kebutuhan gizi balita dan ibu hamil. Penyebabnya adalah perilaku dan kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam menerapkan pola asuh dan pola konsumsi makanan bergizi.

“Kalau mau menurunkan stunting, harus menurunkan masalah gizi sebelumnya, yaitu weight faltering, underweight, gizi kurang, dan gizi buruk. Kalau empat masalah gizi tersebut tidak turun, stunting akan susah turun juga,” jelas Renti Maharaini.

 

Bukti Kuat

Renti menyatakan bahwa semua biskuit bantuan untuk pencegahan stunting yang berjamur sudah diperiksa di gudang pengadaan daerah. Pemberian biskuit itu bagian dalam program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pengentasan stunting.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan yang berasal dari hewan, seperti telur, daging/ikan dan susu atau produk olahannya seperti keju, yogurt.

“BPKN-RI menghimbau agar lebih memperhatikan pemilihan makanan yang tepat untuk anak, penggunaan biskuit pada anak sebenarnya tak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak. Karena bahaya stunting ini lantaran asupan makanan yang kurang baik terkait pemilihan sumber protein yang rupanya masih banyak diabaikan para orang tua," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya