Liputan6.com, Jakarta - Polemik minyak goreng memasuki babak baru. Setelah sempat hilang di pasaran, masalah terbaru Pemerintah rupanya tak kunjung membayar utang rafaksi atau selisih harga minyak goreng ke peritel sebesar Rp 344 miliar.
Berseberangan, justru Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengungkapkan tidak ada utang yang wajib dibayar Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng.
Baca Juga
Walaupun nantinya ada kewajiban terkait harga minyak goreng, maka itu adalah tanggung jawab dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Advertisement
Untuk memahami lebih lengkap, berikut fakta-fakta terkait permasalahan utang rafaksi minyak goreng Pemerintah sebesar Rp 344 miliar ke Peritel, dirangkum Liputan6.com, Jumat (5/5/2023).
1. Mendag membantah ada Utang Rafaksi minyak goreng
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan Kementerian Perdagangan tidak memiliki utang yang wajib dibayar perihal pembayaran selisih harga (rafaksi) minyak goreng senilai Rp 344 miliar.
Menurutnya, kewajiban utang rafaksi minyak goreng merupakan tanggung jawab dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
2. Diperlukan Fatwa Hukum
Disisi lain, kata Mendag, payung hukum untuk pembayaran rafaksi dalam bentuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 yang mana harus menjual minyak goreng satu harga yakni Rp14.000 per liter, sudah tidak ada.
"Kalau Kemendag enggak ada anggaran untuk bayar utang. BPDPKS mau bayar tapi Permendagnya sudah enggak ada maka perlu payung hukum," kata Zulkifli Hasan di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Bila BPDPKS harus membayar tanpa ada payung hukum maka berpotensi terjadi pelanggaran hukum dan bisa dipenjara. Untuk itu, dia menuturkan saat ini Kementerian Perdagangan masih menunggu fatwa dari Kejaksaan Agung terkait kewajiban pembayaran rafaksi BPDPKS. "BPDPKS oke saya mau bayar asal ada aturannya, aturan Permendagnya sudah enggak ada, sudah diganti, kita perlu fatwa hukum itu yang diminta ke Kejaksaan," ungkapnya.
Â
3. Peritel kasih tenggat waktu hingga 3 bulan
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, meminta agar Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan segera melunasi utang rafaksi atau selisih harga minyak goreng satu harga 2022 senilai Rp 344 miliar sebelum tahun politik dimulai.
"Kita berharap dalam 2-3 bulan ini harus selesai sebelum rame-rame pesta demokrasi, karena pesta demokrasi semua akan berorientasi mencari atau mengetahui pemimpin kita berikutnya," kata Roy saat ditemui usai bertemu dengan perwakilan Kemendag, Kamis (4/5/2023).
Jika dalam kurun waktu 2-3 bulan dari sekarang tidak dibayarkan, maka Aprindo mengancam akan menghentikan pembelian minyak goreng dari produsen. Dampaknya, nanti minyak goreng akan kembali langka di ritel seluruh Indonesia.
"Untuk itu ya, jadi opsi-opsi itu tetap akan kita apa sudah ucapkan opsi-opsi mengurangi pembelian atau menghentikan atau pun juga memotong bagian dan seterusnya," ungkapnya.
Kendati demikian, opsi-opsi itu belum diputuskan kapan akan diterapkan. Namun, yang pasti sambil menunggu informasi selanjutnya dari Kemendag, Aprindo tengah mempersiapkan untuk menjalankan opsi-opsi tersebut.
"Opsi-opsi itu sampai hari ini kita belum putuskan, karena memang ini berbicara nasional. Jadi kapan? kalau temen-temen mungkin ada yang telepon kan ada yang nanya kapan diberlakukan, memang sampai hari ini kita belum bisa berikan tanggalnya Kapan, Kapan bulannya Kapan," ujarnya.
"Tapi yang saya sampikan statement kita sedang mempersiapkan untuk menjalankan opsi-opsi, sesuai dengan perkembangan yang kita sedang nantikan ini," tambahnya.
Â
Advertisement
4. Peritel Bakal terus tagih utang Rafaksi minyak goreng
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menghadiri undangan resmi dari Kementerian Perdagangan siang ini, Kamis (4/5/2023) untuk membahas perihal pembayaran utang rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar.
Dalam hasil pertemuannya dengan pihak Kemendag, Roy menegaskan Aprindo tetap meminta kejelasan dari Kemendag agar segera melunasi utang tersebut.
"Kami menyuarakan suatu kebenaran yang hakiki, dimana utang (rafaksi minyak goreng) harus dibayar apapun utang itu yang harus dibayar harus diselesaikan," kata Roy saat ditemui usai bertemu dengan perwakilan Kemendag, Kamis (4/5/2023).
Roy menjelaskan kenapa hal itu disebut utang, karena utang ini adalah perintah penugasan yang tertuang dalam Permendag nomor 3 Tahun 2022 Pasal 12 menyebutkan Pengecer wajib melakukan penjualan Minyak Goreng Kemasan kepada konsumen menggunakan HET sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah) per liter.
"Jadi, dengan kata lain bahwa ini penugasan dan ini bukan yang diminta oleh Aprindo atau peritel untuk melakukan, tetapi kita diminta untuk melakukannya," ujarnya.
Oleh karena itu, Aprindo meminta kepastian kepada Kemendag perihal pelunasan utang rafaksi minyak goreng senilai Rp 344 miliar. Lantaran kepastian ini sangat diperlukan oleh pelaku usaha, dan kepastian itu adalah sesuatu yang hakiki.
Â
5. Peritel akan tempuh jalur hukum Jika Pemerintah tak bayar Utang
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Aprindo (Aprindo) tengah berdiskusi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menyelesaikan masalah selisih harga (rafaksi) minyak goreng. Ketua Umum DPP Aprindo Roy Nicholas Mandey menghitung pemerintah masih memiliki utang rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar ke pengusaha.
Ia pun kemudian menyiapkan sejumlah opsi pembayaran selisih harga minyak goreng yang belum terlaksana. Setidaknya ada 3 opsi yang akan dipertimbangkan Aprindo.
Pertama, Aprindo akan mengurangi pembelian minyak goreng dari produsen. Kedua, Aprindo akan potong tagihan dari produsen. Ketiga, menempuh jalur hukum.
Dari opsi-opsi itu, Roy menekankan bahwa upaya hukum merupakan langkah terakhir agar Aprindo tetap fokus terhadap tuntutan kewajiban bayar rafaksi.
"Kita masih berupaya enggak menempuh hukum gugatan karena nanti kita jadi enggak fokus," kata Roy di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Yang jelas, Roy memastikan tidak ada upaya menghentikan penjualan minyak goreng. Sebab, jika upaya ini dilakukan memiliki konsekuensi hukum karena dianggap melakukan penimbunan.
"Opsi utama adalah mengurangi pembelian hingga menghentikan pembelian," imbuhnya.
Advertisement